Kanker servik jadi pembunuh wanita

Tahukah Anda, bahwa dalan setiap jam wanita di Indonesia meninggal akibat kanker serviks atau lebih dikenal dengan kanker mulut rahim. Bahkan dalam setiap menit wanita di seluruh dunia meninggal karna kanker yang mematikan ini.

Beda Hormon LH dan FSH

FSH dan LH yang diproduksi oleh kelenjar hipofisis anterior, sebuah kelenjar kecil yang hadir di bagian bawah otak. FSH pada dasarnya menyebabkan pematangan sel telur di dalam folikel dalam tubuh wanita.

Manfaat Bawang Putih

Khasiat atau manfaat bawang putih ternyata tidak hanya untuk menyedapkan atau sebagai bumbu masakan saja, namun ternyata banyak hal lain yg dapat di manfaatkan dari bawang puth tersebut terutamanya untuk dunia kesehatan.

Toko Kayumanis

Selamat datang di Toko Kayumanis version Online Shop Kami menjual T-shirt, kaos oblong dan jaket T-shirt, kaos oblong dan jaket yang kami jual menggunakan bahan yang berkualitas tinggi, kelebihan dari T-shirt, kaos oblong dan jaket di Toko kami dapat anda tentukan sendiri desainnya, pola ataupun grafisnya sesusai keinginan anda sehingga dapat dipastikan tidak ada T-shirt, kaos oblong dan jaket dari Toko kami yang mempunyai motif yang sama.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 15 September 2014

Manajemen Risiko K3 di Laboratorium

Negara-negara pengimpor suatu produk strategis terutama negara maju baik belahan dunia barat maupun timur telah mensyaratkan penerapan sistem Manajemen Mutu, Sistem Manajemen Lingkungan, Social Accountabillity ( Social Clause ), Sertifikasi Produk, dan Sitem menajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Persyaratan tersebut dimaksudkan untuk memenuhi standar baik internasional, regional maupun badan sertifikasi.
Untuk membuktikan bahwa persyaratan tersebut telah dipenuhi oleh suatu perusahaan, maka harus dibuktikan dengan cara pengukuran kinerja keselamatan dan kesehatan kerja yang merupakan bagian dari proses akrediritas maupun sertifikasi. pengukuran kinerja tersebut merupakan salah satu aspek penting dalam sistem manjemen keselamatan dan kesehatan kerja. Sejalan dengan konsep menajemen modem, maka aspek pengukuran kinerja tersebut dilaksanakan dalam berbagai kegiatan perusahaan yang dimulai sejak tahap perencanaan, konstruksi sampai tahap operasi.
Sesuai dengan ISO 14000 bahwa Sistem Manajemen Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan siklus yang berkelanjutan, dimana salah satu tahapan penting yakni melaksanakan monitoring atau pengukuran kinerja penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Pengukuran kinerja tersebut bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan, kelemahan atau kekurangan pelaksanaan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang telah diterapkan oleh perusahaan.
Berdasarkan data-data yang diperoleh dari hasil pengukuran kinerja penerapan keselamatan dan kesehatan kerja tersebut maka dapat digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan upaya perbaikan atau penyempurnaan secara terus menerus.
Setiap kegiatan selalu diikuti dengan resiko bahaya yang dapat berakibat terjadinya kecelakaan, kecelakaan yang terjadi pada suatu kegiatan industri merupakan hasil akhir dari suatu aturan yang ada dan kondisi kerja yang tidak nyaman. Walaupan demikian terjadinya kecelakaan seharusnya dapat di cegah dan diminimalisasikan, karena kecelakaan tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Terjadinya kecelakaan pada umumnyaditimbulkan oleh beberapa faktor penyebab, oleh karena itu terjadinya kecelakaan harus diteliti faktor-faktor penyebabnya denga tujuan untuk menentukan usaha-usaha pembinaan dan pengawasan keselamatan kerja yang tepat secara efektif dan efisian sehingga terjadinya kecelakaan dapat dicegah.
Sebagai faktor penyebab terjadinya kecelakaan pada umumnya bersumber pada faktor lingkungan kerja dan faktor manusia, berdasarkan statistik kecelakaan, kejadian kecelakaan kerja lebih dari 85% disebabkan oleh faktor manusia sehingga perhatian ditekankan kepada aspek manusia.
Perilaku pekerja yang tidak aman yang dapat membahayakan, kondisi yang berbahaya, kondisi hampir celaka dan penyakit akibat kerja adalah gejala dari kurang berfungsinya manjemen. Permasalahan keselamayan dan kesehatan kerja harus dicari penyebab dasar masalah hingga ditemukan tugas dan fungsi yang tidak dilaksanakan denganbaik yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi.
Bahaya – bahaya yang ada di tempat kerja pada dasarnya berpotensi dapat menimbulakn terjadinya kecelakaan, maka harus diidentifikasi dan dikelola dengan baik sejak mulai dari perencanaan, konstruksi, operasi sampai dengan pasca operasi.
Secara umum resiko bahaya kebakaran dan kecelkaan sudah disadari oleh perusahaan-perusahaan dilingkungan kegiatan usaha apapun, oleh karena itu setiap perusahaan yang bergerak melakukan kegiatan usaha pada umumnya telah melakukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangannya antara lain telah menyediakan fasilitas keselamatan kerja perorangan (Personal Protection Equipment) dan sarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran baik secara permanen maupun yang portable.
Dalam melakukan kegiatan didalam laboratorium, kita harus menyadari bahwa dalam setiap kegiatan tersebut berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dan kebakaran sehingga penting sekali aspek keselamatan dan kesehatan kerja disini.
Merupakan kebijakan manajemen untuk mencegah terjadinya kecelakaan pada laboratorium, melindungi harta milik perusahaan dari kerusakan dan memberikan keamanan kepada karyawan sehubungan dengan pengoperasian dan penggunaan fasilitas laboratorium di perusahaan.
Setiap pengguna laboratorium harus mempunyai rasa tanggung jawab yang penuh akan keselamatan dan kesehatan kerja didalam laboratorium. Untuk itu perlu di buat peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur yang di tetapkan dan harus ditaati selalu pada setiap kegiatan yang dilakukan didalam laboratorium. Penyelenggra terhadap peraturan-peraturan dan prosedur kerja dapat dikenakan sanksi
Manajemen tidak menginginkan program keselamatan dan kesehatan kerja dalam laboratorium hanya merupakan fungsi pelengkap, tetapi harus dilaksanakan . setiap orang yang akan melakukan pekerjaan di dalam laboratorium harus membaca peraturan yang ada serta memahami buku petunjuk di dalam laboratorium.
Dalam laboratorium diperlukan suatu panduan untuk keselamatan kerja dan keselamatan laboratorium harus ditempatkan di tingkatan prioritas yang paling tinggi dan ANDA adalah bertanggung jawab untuk suatu laboratorium yang aman.
Dalam laboratorium pada tahap awal kita harus mengetahui :
1. Kegiatan yang akan dilakukan
2. Bahan-bahan kimia yang tersedia
3. Fasilitas peralatan proses yang tersedian
4. Peralatan K3 yang tersedia
Untuk melakukan kegiatan di dalam llaboratorium diperluakan aturan tersendiri dalam melakukan K3
Peraturan dalam Laboratorium
1. Melaksanakan pekerjaan laboratorium hanya ketika ada guru atau pengawas dan tidak diijinkan mengadakan percobaan laboratorium yang tidak diijinkan
2. Perhatian untuk keselamatan perlu dimulai bahakan sebeleum melakukan aktivitas yang pertama. Selalu membaca dan memikirkan masing-masing tugas laboratorium sebelum dimulai
3. Mengetahui letak penempatan dan penggunaan dari semua peralatan keselamatan di dalam laboratorium ini meliputi keselamatan shower, pencuci mata, kotam PPPK, pemadam api dan selimut (blanket) dan lihat suatu tata ruang yang menyangkut dan mempertunjukkan penempatan dari peralatan keselamatan.
4. pakailah celemek atau mantel laboratorium dan kacamata pelindung atau kacamata bersifat melindungi untuk semua pekerjaan laboratorium memakai sepatu lebih baik dibandingkan dengan sandal dan gunakan pengikat rambut.
5. Bersihkanlah bangku dari semua material tak perlu seperti pakaian dan buku sebelum pekerjaan di mulai
6. Periksalah label bahan kimia dua kali untuk meyakinkan mempunyai unsur yang benar. Beberapa bahan kimia rumusan dan nama berbeda dengan hanya suatu nama dan nomor. Memperhatikan dan menghiraukan penggolongan resiko yang ada label dan lihatlah suatu diagram resiko dan maksud angka-angka yang digunakan pada tabek diagram resiko.
7. Jika mungkin diminta untuk memindahakan beberapa bahan kimia laboratorium dari suatu botol umum ke botol piala besar atau tabung test milik mu. JANGAN KEMBALIKAN kelebihan materiall apapun kedalam kemasan yang aslinya kecuali jika diberi ijin oleh guru/pengawas.
8. Hindarilah pergerakan dan pembicaraan yang tak perlu di dalam laboratorium
9. Jangan pernah mencicipi material. Tidak boleh mmbawa makanan atau minuman ke dalam laboratorium. Jika di perintahkan untuk membaui sesuatu, lakukan dengan penghembusan sebagian dari uap air ke arah hidung. Tidak menempatkan hidung dekat pembukaan kontainer/kemasan.
10. Jangan pernah melihat secara langsung ke dalam suatu tabung test, pandang dari sisi samping. Jangan pernah menunjuk suatu test yang terbuka dari kearah diri anda atau tetangga
11. Apapun kecelakaan dalam lboratorium, bagaimanapun kecilnya, harus dilaporkan dengan seketika kepada pengawas.
12. Jika membuang bahan kimia setelah digunakan harus mengikuti perintah dan harus secara hati-hati
13. Kembalikan peralatan kimia, bahan k imia, celemek dan kacamata pelindung kepada penempatan awal.
14. Sebelum minggalkan laboratorium, pastikan bahwa kran air dan gas sudah tutup.
15. Jika ragu-ragu silahkan bertanya.
Manajemen resiko laboratorium
Menurut G. Terry pelaksanaan manajemen dikelompokkan menjadi
• Perencanaan (Planning )
• Organisasi ( Organizing )
• Pelaksaan ( Actuating )
• Pengawasan ( Controlling )
A.Perencanaan (Planning)
Fungsi perencanaan adalah suatu usaha menentukan kegiatan yang akan dilakukan di masa mendatang guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini adalah keselamatan dan kesehatan kerja di laboratorium. Dalam perencanaan, kegiatan yang ditentukan meliputi :
a. apa yang dikerjakan
b. bagaimana mengerjakannya
c. mengapa mengerjakan
d. siapa yang mengerjakan
e. kapan harus dikerjakan
f. di mana kegiatan itu harus dikerjakan
Kegiatan laboratorium sekarang tidak lagi hanya di bidang pelayanan, tetapi sudah mencakup kegiatan-kegiatan di bidang pendidikan dan penelitian, juga metoda-metoda yang dipakai makin banyak ragamnya; semuanya menyebabkan resiko bahaya yang dapat terjadi dalam laboratorium makin besar. Oleh karena itu usaha-usaha pengamanan kerja di laboratorium harus ditangani secara serius oleh organisasi keselamatan kerja laboratorium
B.Organisasi (O rganizing )
Organisasi keselamatan dan kesehatan kerja laboratorium dapat dibentuk dalam beberapa jenjang, mulai dari tingkat laboratorium daerah (wilayah) sampai ke tingkat pusat atau nasional. Keterlibatan pemerintah dalam organisasi ini baik secara langsung atau tidak langsung sangat diperlukan. Pemerintah dapat menempatkan pejabat yang terkait dalam organisasi ini di tingkat pusat (nasional) dan tingkat daerah (wilayah),
disamping memberlakukan Undang- Undang Keselamatan Kerja.
C.Pelaksanaan (Actuating)
Fungsi pelaksanaan atau penggerakan adalah kegiatan mendorong semangat
kerja bawahan, mengerahkan aktivitas bawahan, mengkoordinasikan berbagai aktivitas bawahan menjadi aktivitas yang kompak (sinkron), sehingga semua aktivitas bawahan
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Pelaksanaan program kesehatan dan keselamatan kerja laboratorium sasarannya ialah tempat kerja yang aman dan sehat. Untuk itu setiap individu yang bekerja dalam laboratorium wajib mengetahui dan memahami semua hal yang diperkirakan akan dapat menjadi sumber kecelakaan kerja dalam laboratorium, serta memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup untuk melaksanakan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan kerja tersebut. Kemudian mematuhi berbagai peraturan atau ketentuan dalam menangani berbagai spesimen reagensia dan alat-alat. Jika dalam pelaksanaan fungsi penggerakan ini timbul permasalahan, keragu-raguan atau pertentangan, maka menjadi tugas manajer untuk mengambil keputusan penyelesaiannya.
D.Pengawasan (Controlling)
Fungsi pengawasan adalah aktivitas yang mengusahakan agar pekerjaan-
• pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang
dikehendaki. Untuk dapat menjalankan pengawasan, perlu diperhatikan 2 prinsip pokok, yaitu :
a. adanya rencana
b. adanya instruksi-instruksi dan pemberian wewenang kepada bawahan.
Dalam fungsi pengawasan tidak kalah pentingnya adalah sosialisasi tentang
perlunya disiplin, mematuhi segala peraturan demi keselamatan kerja bersama dilaboratorium. Sosialisasi perlu dilakukan terus menerus, karena usaha pencegahan bahaya yang bagaimanapun baiknya akan sia-sia bila peraturan diabaikan. Dalam laboratorium perlu dibentuk pengawasan laboratorium yang tugasnya antara lain :
 memantau dan mengarahkan secara berkala praktek-praktek laboratorium yang baik, benar dan aman.
 memastikan semua petugas laboratorium memahami cara-cara menghindari risiko bahaya dalam laboratorium.
 melakukan penyelidikan / pengusutan segala peristiwa berbahaya atau kecelakaan.
 mengembangkan sistem pencatatan dan pelaporan tentang keamanan kerja laboratorium.
 melakukan tindakan darurat untuk mengatasi peristiwa berbahaya dan mencegah meluasnya bahaya tersebut
Dalam mengelola laboratorium yang baik, harus dikenal perangkat-perangkat yang harus dikelola yaitu :
1 .Tata ruang
Untuk tata ruang, dapat dilakukan sedemikian sehingga dapat berfungsi dengan baik. Tata ruang yang baik harus mempunyai antara lain :
a. Pintu masuk
b. Pintu keluar
c. Pintu darurat
d. Ruang persiapan
e. Ruang peralatan
f. Ruang penyimpanan
g. Ruang staf/dosen
h. Ruang teknisi/laboran/tenaga administrasi
i. Ruang seminar/diskusi
j. Ruang bekerja (praktikum dan penelitian)
k. Ruang istirahat/ibadah
l. Ruang prasarana alat laboratorium
m. Ruang prasarana kebersihan
n. Ruang keselamatan kerja
o. Lemari praktikan
p. Lemari gelas
q. Lemari alat optik
r. Pintu dan jendela diberi kawat kassa untuk menjaga tidak masuknya hewan
s.F an ( Kipas angin )
t. Ruang AC untuk alat tertentu yang memerlukan persyaratan tertentu.
2.Alat yang baik dan terkalibrasi
Petugas laboratorium wajib mengenal dan mampu mengoprasikan peralatan laboratorium. Alat-alat yang dioperasikan harus benar-benar dalam kondisi :
a. Siap untuk pakai
b. Bersih
c. Terkalibrasi
d. Beroperasi dengan baik
Peralatan yang ada mestinya disertai dengan buku petunjuk pengoprasian. Hal ini mengantisipasi agar tidak terjadi kerusakan dan petunjuk tersebut dapat digunakan oleh teknisi dalam memperbaiki alat yang mengalami kerusakan kecil. Teknisi laboratorium sangat diharapkan selalu berada aditempat,ketikaberlangsung praktikum/penelitian, yang jika sewaktu-waktu alat mengalami kerusakan maka dengan cepat dapat diperbaiki.
Peralatan laboratorium sebaiknya disusun secara teratur pada tempat tertentu berupa rak atau meja menurut kelompok pengguna dan jika alat selesai dipakai segera dibersihkan dan kembali disususn seperti semula. Pemeliharaaan alat dan bahan yang perlu mendapat perhatian seperti :
a. Alat gelas
Alat ini harus selalu bersih dan ditempatkan pada tempat yang khusus jika gelas tersebut harus steril.
b. Bahan - bahan kimia
Untuk bahan kimia yang bersifat asam dan alkalis ditempatkan pada ruang yang dapat mengeluarkan gas, demikian juga bahan kimia yang mudah menguap dan terbakar ditempatkan ditempat penyimpanan khusus. Penyimpanan bahan kimia sebaiknya ditempatkan pada tempat tersendiri.
c. Alat - alat optik
Alat-alat optik sebaiknya disimpan pada tempat yang kering dan tidak lembab. Kelembapan yang tinggi akan menyebabkan lensa . lensa berjamur dan mengakibatkan kerusakan. Alat optik seperti mikroskop, lensa, kamera ditempatkan dalam lemari khusus yang kelembabannya dapat dikendalikan dan biasanya dilakukan dengan menggunakan lampu pijar 15 - 20 watt.
3.Infra Struktur Laboratorium
Infra struktur laboratorium terdiri dari :
a. Laboratory assessment
Hal ini mencakup tentang lokasi, konstruksi laboratorium dan fasilitas lain
termasuk pintu utama, pintu darurat, jenis meja, jenis atap, jenis dinding, jenis lantai, jenis pintu, jenis lampu yang dipakai, jenis ventilasi, jenis AC, jenis tempat penyimpanan, jenis lemari bahan kimia, optic, timbangan, instrument lain, kondisi laboratorium, pembuangan limbah dan sebagainya
b. Fasilitas Umum
Fasilitas ini mencakup bahasan tentang kebutuhan listrik, sumber listrik,
stabilitas tegangan, distribusi arus, jenis panel listrik, jenis soket, sumber air, jenis keran yang dipakai, jenis pembuangan air, instalasi air, instalasi listrik, keadaan toilet, jenis rung persiapan, ruang perbaikan/workshop, penyediaan
teknisi, penyediaan dana dan sebagainya.
4.Administrasi Laboratorium
Tujuan administrasi laboratorium adalah untuk memperoleh informasi tentang keadaan laboratorium denga cepat dan mudah. Administrasi laboratorium meliputi segala kegiatan administrasi yang ada dilaboratorium antara lain:
a.I nventarisasi peralatan laboratorium yang ada
b. Daftar kebutuhan alat baru, alat tambahan, alat – alat yang rusak , alat-alat yang dipinjam dan alat - alat yang dikembalikan.
c. Keluar masuk surat menyurat
d. Daftar pemakaian laboratorium, sesuai jadwal kegiatan praktikum dan penelitian
e. Daftar inventaris bahan - bahan kimia dan non kimia, bahan - bahan gelas
f. Daftar inventaris alat - alat mebel lain
g. Sistem evaluasi dan pelapora
Kegiatan administrasi ini adalah kegiatan rutin dan kesinambungan karena itu perlu dipersiapkan dan dilaksanakan secara teratur dan baik.
5.Inventarisasi dan Keamanan Laboratorium
Kegiatan inventarisasi dan keamanan laboratorium meliputi
a. Semua kegiatan inventarisasi
b. Keamanan yang dimaksud disini adalah apakah peralatan laboratorium
tersebut tetap ada di laboratorium atau ada yang meminjamnya, apakah ada
yang hilang, pindah tempat namun tidak dilaporkan keadaan sebenarnya.
Tujuan yang ingin dicapai dalam inventarisasi dan keamanan adalah:
1). Mencegah kehilangan dan penyalah gunaan
2). Mengurangi biaya operasiona
3). Meningkatkan proses pekerjaan dan hasilnya
4). Meningkatkan kualitas kerja
5). Mengurangi resiko kehilangan
6). Mencegah pemakaian yang berlebih
7). Meningkatkan kerja sama
6.PengamananL aboratorium
Pengamanan laboratorium meliputi antara lain :
a. Tanggung Jawab
Kepala laboratorium bertanggung jawab penuh terhadap segala kecelakaan yang mungkin timbul di laboratorium.
b. Kerapian
Letak alat pemadam harus diletakkan sedemikian sehingga bebas dari hambatan, demikian juga lantai harus bersih dan bebas minyak, air dan material lain yang mungkin menyebabkan lantai licin.
c. Pertolongan Pertama
Semua kecelakaan bagaimanapun ringannnya harus ditangani ditempat pertolongan pertama. Sehingga setiap laboratorium harus memiliki kotak P3 K yang isinya selalu dikontrol.
d. Pakaian
Setiap bekerja di laboratorium harus memperhatikan pakain, misalnya jangan memakai baju ketat, berlengan panjang dan kancing terbuka ketika bekerja dengan mesin ± mesin yang bergerak.
e. Pintu - pintu laboratorium
Pintu  pintu laboratorium sebaiknya dilengkapi dengan jendela pengintip untuk mencegah terjadinya kecelakaan.
f. Alat - alat
Alat - alat disimpan sesuai dengan kelompok atau jenis, misalnya peralatan yang menggunakan listrik seharusnya diletakkan dekat dengan sumber listrik. Alat yang terbuat dari kaca perlu mendapat perhatian khusus.
g. Tabung gas
Tabung - tabung gas harus mendapat perhatian yang khusus.
Penyimpanannya ditempatkan ditempat yang sejuk dan terhindar dari tempayang panas. Kran gas harus selalu tertutup jika tidak dipakai demikian juga dengan kran pengaturan. Alat - alat yang berhubungan dengan tabung gas harus memakai pengaman terhadap tekanan.
h. Pemadam kebakaran (Fire Extinguiser )
Dalam laboratorium harus tersedia alat pemadam kebakaran yang berguna untuk mencegah kebakaran yang mungkin terjadi. Secara umum bahan yang mudah terbakar dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Bahan - bahan yang lain, jika terbakar sulit untuk diklasifikasikan, karena berubah dari padat menjadi cair atau cair menjadi gas pada temperature yang tinggi. Peralatan pemadam kebakaran yang sesuai dengan tipe atau kelas kebakaran harus tersedia di laboratorium, seperti yang disebut berikut ini :
yang panas. Kran gas harus selalu tertutup jika tidak dipakai demikian juga dengan kran pengaturan. Alat - alat yang berhubungan dengan tabung gas harus memakai pengaman terhadap tekanan.
h. Pemadam kebakaran (Fire Extinguiser )
Dalam laboratorium harus tersedia alat pemadam kebakaran yang berguna untuk mencegah kebakaran yang mungkin terjadi. Secara umum bahan yang mudah terbakar dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Bahan - bahan yang lain, jika terbakar sulit untuk diklasifikasikan, karena berubah dari padat menjadi cair atau cair menjadi gas pada temperature yang tinggi. Peralatan pemadam kebakaran yang sesuai dengan tipe atau kelas kebakaran harus tersedia di laboratorium, seperti yang disebut berikut ini :
7.Organisasi Laboratorium
Organisasi laboratorium meliputi struktur organisasi, deskripsi pekerjaan, serta susunan personalia yang mengelola laboratorium tersebut. Penanggung jawab tertinggi organisasi di laboratorium adalah Kepala Laboratorium. Anggota Laboratorium yang berada di bawah Kepala Laboratorium harus sepenuhnya bertanggung jawab terhadap semua pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
Setiap kegiatan kerja selalu diikuti dengan resiko bahaya yang dapat berakibat terjadinya kecelakaan. Kecelakaan yang terjadi pada suatu kegiatan industri merupakan hasil akhir dari suatu aturan yang ada kondisi kerja yang tidak aman. Walaupun demikian terjadinya kecelakaan seharusnya dapat dicegah dan diminimalisasikan, karena kecelakaan tidak dapt terjadi dengan sendirinya. Terjadinya kecelakaan pada umumnya ditimbulkan oleh beberapa faktor penyebab, oleh karena itu terjadinya kecelakaan harus diteliti faktor-faktor penyebabnya denggan tujuan untuk menetukan usaha-usaha pembinaan dan pengawasan keselatan kerja yang tepat secara efektif dan efisien sehingga terjadinya kecelakaan dapat di cegah.
DAFTAR PUSTAKA
Chapman, Christy. Bringing ERM into Focus. Internal Auditor, June 2003
Committee of Sponsoring Organization (COSO) of the Treadway Commission. What is COSO: Background and Events Leading to Internal Control-Integrated Framework. 1992
Darmawi, Herman. Manajemen Risiko. Bumi Aksara, 2005.
Simmons, Mark. COSO Based Auditing. The Internal Auditor, December 1997
The Institute of Internal Auditors. Internal C
Vaughan, Emmet. Fundamentals of Risk and Insurance. 2nd, John Willey, 1978

Posted via Blogaway

Minggu, 14 September 2014

Glukosa Darah (Serum/Plasma)

Glukosa terbentuk dari karbohidrat dalam makanan dan disimpan sebagai
glikogen dalam hati dan otot rangka. Kadar glukosa dipengaruhi oleh 3 macam
hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas. Hormon-hormon itu adalah :
insulin, glukagon, dan somatostatin.
Insulin dihasilkan oleh sel-sel β, mendominasi gambaran metabolik. Hormon ini
mengatur pemakaian glukosa melalui banyak cara : meningkatkan pemasukan
glukosa dan kalium ke dalam sebagian besar sel; merangsang sintesis glikogen
di hati dan otot; mendorong perubahan glukosa menjadi asam-asam lemak dan
trigliserida; dan meningkatkan sintesis protein, sebagian dari residu
metabolisme glukosa. Secara keseluruhan, efek hormone ini adalah untuk
mendorong penyimpanan energi dan meningkatkan pemakaian glukosa.
Glukagon dihasilkan oleh sel-sel α, meningkatkan sintesis protein dan
menstimulasi glikogenolisis (pengubahan glikogen cadangan menjadi glukosa)
dalam hati; ia membalikkan efek-efek insulin. Somatostatin dihasilkan oleh sel-
sel delta, menghambat sekresi glukagon dan insulin; hormone ini juga
menghambat hormone pertumbuhan dan hormone-hormon hipofisis yang
mendorong sekresi tiroid dan adrenal.
Saat setelah makan atau minum, terjadi peningkatan kadar gula darah yang
merangsang pankreas menghasilkan insulin untuk mencegah kenaikan kadar
gula darah lebih lanjut. Insulin memasukkan gula ke dalam sel sehingga bisa
menghasilkan energi atau disimpan sebagai cadangan energi. Adanya kelainan
sekresi insulin, kerja insulin, atau kombinasi keduanya, akan berpengaruh
terhadap konsentrasi glukosa dalam darah.
Penurunan kadar glukosa darah (hipoglikemia) terjadi akibat asupan makanan
yang tidak adekuat atau darah terlalu banyak mengandung insulin. Peningkatan
kadar glukosa darah (hiperglikemia) terjadi jika insulin yang beredar tidak
mencukupi atau tidak dapat berfungsi dengan baik; keadaan ini disebut diabetes
mellitus. Apabila kadar glukosa plasma atau serum sewaktu (kapan saja, tanpa
mempertimbangkan makan terakhir) sebesar ≥ 200 mg/dl, kadar glukosa
plasma/serum puasa yang mencapai > 126 mg/dl, dan glukosa plasma/serum 2
jam setelah makan (post prandial) ≥ 200 mg/dl biasanya menjadi indikasi
terjadinya diabetes mellitus.
Kadar glukosa puasa memberikan petunjuk terbaik mengenai homeostasis
glukosa keseluruhan, dan sebagian besar pengukuran rutin harus dilakukan
pada sampel puasa. Keadaan-keadaan yang dapat mempengaruhi kadar
glukosa (mis. diabetes mellitus, kegemukan, akromegali, penyakit hati yang
parah, dsb.) mencerminkan kelainan pada berbagai mekanisme pengendalian
glukosa.
Uji gula darah post prandial biasanya dilakukan untuk menguji respons
penderita terhadap asupan tinggi karbohidrat 2 jam setelah makan (sarapan
pagi atau makan siang).
Untuk kasus-kasus hiperglikemia atau bahkan hipoglikemia yang tak jelas,
biasanya dilakukan tes toleransi glukosa oral (TTGO) . TTG oral dipengaruhi
oleh banyak variable fisiologik dan menjadi subjek dari bahan interpretasi
diagnostik yang berbeda-beda. Uji toleransi glukosa intravena jarang
diindikasikan untuk tujuan diagnosis.


Posted via Blogaway

Senin, 08 September 2014

Platelet Disribution Width (PDW)


PDW merupakan koefisien variasi ukuran trombosit. Kadar PDW tinggi dapat ditemukan pada sickle cell disease dan trombositosis, sedangkan kadar PDW yang rendah dapat menunjukan trombosit yang mempunyai ukuran yang kecil.
Red Cell Distribution Width (RDW)RDW merupakan koefisien variasi dari volume eritrosit. RDW yang tinggi dapat mengindikasikan ukuran eritrosit yang heterogen, dan biasanya ditemukan pada anemia defisiensi besi, defisiensi asam folat dan defisiensi vitamin B12, sedangkan jika didapat hasil RDW yang rendah dapat menunjukan eritrosit yang mempunyai ukuran variasi yang kecil.


Posted via Blogaway

Minggu, 07 September 2014

Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC)


Biasanya digunakan untuk membantu mendiagnosis penyebab anemia (Suatu kondisi di mana ada terlalu sedikit sel darah merah). Indeks/nilai yang biasanya dipakai antara lain :
MCV (Mean Corpuscular Volume) atau Volume Eritrosit Rata-rata (VER), yaitu volume rata-rata sebuah eritrosit yang dinyatakan dengan femtoliter (fl)
    MCV =  Hematokrit x 10
                Eritrosit

    Nilai normal = 82-92 fl

MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) atau Hemoglobin Eritrosit Rata-Rata (HER), yaitu banyaknya hemoglobin per eritrosit disebut dengan pikogram (pg)
     MCH = Hemoglobin x 10
                     Eritrosit

     Nilai normal = 27-31 pg

MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) atau Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (KHER), yaitu kadar hemoglobin yang didapt per eritrosit, dinyatakan dengan persen (%) (satuan yang lebih tepat adalah “gr/dl”)
      MCHC = Hemoglobin x 100
                      Hematokrit

      Nilai normal = 32-37 %


Posted via Blogaway

Jumat, 05 September 2014

PEMERIKSAAN DARAH LENGKAP


Pemeriksaan Darah Lengkap (Complete Blood Count / CBC) yaitu suatu jenis pemeriksaaan penyaring untuk menunjang diagnosa suatu penyakit dan atau untuk melihat bagaimana respon tubuh terhadap suatu penyakit. Disamping itu juga pemeriksaan ini sering dilakukan untuk melihat kemajuan atau respon terapi pada pasien yang menderita suatu penyakit infeksi.

Pemeriksaan Darah Lengkap terdiri dari beberapa jenis parameter pemeriksaan, yaitu
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit (White Blood Cell / WBC)
Trombosit (platelet)
Eritrosit (Red Blood Cell / RBC)
Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
Laju Endap Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR)
Hitung Jenis Leukosit (Diff Count)
Platelet Disribution Width (PDW)
Red Cell Distribution Width (RDW)
Pemeriksaan Darah Lengkap biasanya disarankan kepada setiap pasien yang datang ke suatu Rumah Sakit yang disertai dengan suatu gejala klinis, dan jika didapatkan hasil yang diluar nilai normal biasanya dilakukan pemeriksaan lanjutan yang lebih spesifik terhadap gangguan tersebut, sehingga diagnosa dan terapi yang tepat bisa segera dilakukan. Lamanya waktu yang dibutuhkan suatu laboratorium untuk melakukan pemeriksaan ini berkisar maksimal 2 jam.

Hemoglobin
Hemoglobin adalah molekul protein pada sel darah merah yang berfungsi sebagai media transport oksigen dari paru paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru paru. Kandungan zat besi yang terdapat dalam hemoglobin membuat darah berwarna merah.

Dalam menentukan normal atau tidaknya kadar hemoglobin seseorang kita harus memperhatikan faktor umur, walaupun hal ini berbeda-beda di tiap laboratorium klinik, yaitu :
Bayi baru lahir : 17-22 gram/dl
Umur 1 minggu : 15-20 gram/dl
Umur 1 bulan : 11-15 gram/dl
Anak anak : 11-13 gram/dl
Lelaki dewasa : 14-18 gram/dl
Perempuan dewasa : 12-16 gram/dl
Lelaki tua : 12.4-14.9 gram/dl
Perempuan tua : 11.7-13.8 gram/dl
Kadar hemoglobin dalam darah yang rendah dikenal dengan istilah anemia. Ada banyak penyebab anemia diantaranya yang paling sering adalah perdarahan, kurang gizi, gangguan sumsum tulang, pengobatan kemoterapi dan penyakit sistemik (kanker, lupus,dll).
Sedangkan kadar hemoglobin yang tinggi dapat dijumpai pada orang yang tinggal di daerah dataran tinggi dan perokok. Beberapa penyakit seperti radang paru paru, tumor, preeklampsi, hemokonsentrasi, dll.

Hematokrit
Hematokrit merupakan ukuran yang menentukan banyaknya jumlah sel darah merah dalam 100 ml darah yang dinyatakan dalam persent (%). Nilai normal hematokrit untuk pria berkisar 40,7% - 50,3% sedangkan untuk wanita berkisar 36,1% - 44,3%.
Seperti telah ditulis di atas, bahwa kadar hemoglobin berbanding lurus dengan kadar hematokrit, sehingga peningkatan dan penurunan hematokrit terjadi pada penyakit-penyakit yang sama.

Leukosit (White Blood Cell / WBC)
Leukosit merupakan komponen darah yang berperanan dalam memerangi infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, ataupun proses metabolik toksin, dll.
Nilai normal leukosit berkisar 4.000 - 10.000 sel/ul darah.
Penurunan kadar leukosit bisa ditemukan pada kasus penyakit akibat infeksi virus, penyakit sumsum tulang, dll, sedangkan peningkatannya bisa ditemukan pada penyakit infeksi bakteri, penyakit inflamasi kronis, perdarahan akut, leukemia, gagal ginjal, dll

Trombosit (platelet)
Trombosit merupakan bagian dari sel darah yang berfungsi membantu dalam proses pembekuan darah dan menjaga integritas vaskuler. Beberapa kelainan dalam morfologi trombosit antara lain giant platelet (trombosit besar) dan platelet clumping (trombosit bergerombol).
Nilai normal trombosit berkisar antara 150.000 - 400.000 sel/ul darah.
Trombosit yang tinggi disebut trombositosis dan sebagian orang biasanya tidak ada keluhan. Trombosit yang rendah disebut trombositopenia, ini bisa ditemukan pada kasus demam berdarah (DBD), Idiopatik Trombositopenia Purpura (ITP), supresi sumsum tulang, dll.

Eritrosit (Red Blood Cell / RBC)
Eritrosit atau sel darah merah merupakan komponen darah yang paling banyak, dan berfungsi sebagai pengangkut / pembawa oksigen dari paru-paru untuk diedarkan ke seluruh tubuh dan membawa kardondioksida dari seluruh tubuh ke paru-paru.Nilai normal eritrosit pada pria berkisar 4,7 juta - 6,1 juta sel/ul darah, sedangkan pada wanita berkisar 4,2 juta - 5,4 juta sel/ul darah.Eritrosit yang tinggi bisa ditemukan pada kasus hemokonsentrasi, PPOK (penyakit paru obstruksif kronik), gagal jantung kongestif, perokok, preeklamsi, dll, sedangkan eritrosit yang rendah bisa ditemukan pada anemia, leukemia, hipertiroid, penyakit sistemik seperti kanker dan lupus, dll

Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
Biasanya digunakan untuk membantu mendiagnosis penyebab anemia (Suatu kondisi di mana ada terlalu sedikit sel darah merah). Indeks/nilai yang biasanya dipakai antara lain :
MCV (Mean Corpuscular Volume) atau Volume Eritrosit Rata-rata (VER), yaitu volume rata-rata sebuah eritrosit yang dinyatakan dengan femtoliter (fl)
    MCV =  Hematokrit x 10
                Eritrosit

    Nilai normal = 82-92 fl

MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) atau Hemoglobin Eritrosit Rata-Rata (HER), yaitu banyaknya hemoglobin per eritrosit disebut dengan pikogram (pg)
     MCH = Hemoglobin x 10
                     Eritrosit

     Nilai normal = 27-31 pg

MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) atau Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (KHER), yaitu kadar hemoglobin yang didapt per eritrosit, dinyatakan dengan persen (%) (satuan yang lebih tepat adalah “gr/dl”)
      MCHC = Hemoglobin x 100
                      Hematokrit

      Nilai normal = 32-37 %

Laju Endap Darah
Laju Endap Darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR) adalah kecepatan sedimentasi eritrosit dalam darah yang belum membeku, dengan satuan mm/jam. LED merupakan uji yang tidak spesifik. LED dijumpai meningkat selama proses inflamasi akut, infeksi akut dan kronis, kerusakan jaringan (nekrosis), penyakit kolagen, rheumatoid, malignansi, dan kondisi stress fisiologis (misalnya kehamilan).
International Commitee for Standardization in Hematology (ICSH) merekomendasikan untuk menggunakan metode Westergreen dalam pemeriksaan LED, hal ini dikarenakan panjang pipet Westergreen bisa dua kali panjang pipet Wintrobe sehingga hasil LED yang sangat tinggi masih terdeteksi.
Nilai normal LED pada metode Westergreen :
Laki-laki : 0 – 15 mm/jam
Perempuan : 0 – 20 mm/jam   

Hitung Jenis Leukosit (Diff Count)
Hitung jenis leukosit digunakan untuk mengetahui jumlah berbagai jenis leukosit. Terdapat lima jenis leukosit, yang masing-masingnya memiliki fungsi yang khusus dalam melawan patogen. Sel-sel itu adalah neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil, dan basofil. Hasil hitung jenis leukosit memberikan informasi yang lebih spesifik mengenai infeksi dan proses penyakit.  Hitung jenis leukosit hanya menunjukkan jumlah relatif dari masing-masing jenis sel. Untuk mendapatkan jumlah absolut dari masing-masing jenis sel maka nilai relatif (%) dikalikan jumlah leukosit total dan hasilnya dinyatakan dalam sel/μl.
Nilai normal : Eosinofil 1-3%, Netrofil 55-70%, Limfosit 20-40%, Monosit 2-8%

Platelet Disribution Width (PDW)
PDW merupakan koefisien variasi ukuran trombosit. Kadar PDW tinggi dapat ditemukan pada sickle cell disease dan trombositosis, sedangkan kadar PDW yang rendah dapat menunjukan trombosit yang mempunyai ukuran yang kecil.
Red Cell Distribution Width (RDW)RDW merupakan koefisien variasi dari volume eritrosit. RDW yang tinggi dapat mengindikasikan ukuran eritrosit yang heterogen, dan biasanya ditemukan pada anemia defisiensi besi, defisiensi asam folat dan defisiensi vitamin B12, sedangkan jika didapat hasil RDW yang rendah dapat menunjukan eritrosit yang mempunyai ukuran variasi yang kecil.

Posted via Blogaway


Posted via Blogaway

Senin, 01 September 2014

Platelet aggregation test (Test agregasi trombosit)


Pemeriksaan agregasi trombosit digunakan untuk mengevaluasi kemampuan trombosit untuk membentuk agregat/ clump dan mengawali terbentuknya bekuan darah. Indikasi pemeriksaan adalah :
- Membantu diagnosis gangguan fungsi trombosit baik kongenital (Von Willebrand’s disease) maupun didapat, pada pasien dengan riwayat perdarahan
- Dugaan peningkatan agregasi trombosit (DM, hiperlipidemia)
- Monitoring terapi anti-trombosit (aspirin, ticlopidine, clpopidogrel, abciximab) paska stroke atau heart attack
- Deteksi faktor resiko trombosis arteri (PJK, stroke)
- Deteksi resistensi aspirin
- Monitoring fungsi trombosit selama operasi CABG (sirkulasi mekanik dengan mesin jantung-paru mengaktifkan sejumlah besar trombosit dan menyebabkan dysfungsional trombosit), kateterisasi jantung, transplantasi hepar.
- Skrining pasien preoperasi beresiko perdarahan selama prosedur invasif, misalnya pasien dengan riwayat perdarahan atau mengkonsumsi obat yang mempengaruhi kemampuan darah untuk membeku seperti aspirin dan NSAID.

Persiapan pemeriksaan agregasi trombosit adalah :
- Darah diambil dalam keadaan puasa 8 jam karena kadar lemak tinggi dalam darah akan mempengaruhi hasil.
- Sampel darah tidak hemolisis
- Sampel darah disimpan dalam penampung plastik/ gelas berlapis silikon bertutup pada suhu kamar
- Dikerjakan dalam waktu tiga jam setelah pengambilan darah karena respons PRP (trombosit rich plasma) akan menurun dalam tiga jam.
- Jumlah trombosit dalam PRP lebih dari 100.000/ UL

Prinsip pemeriksaan adalah perubahan transmisi cahaya (light transmittance changes), yaitu penambahan agonist (aggregating agents) ke dalam PRP akan menginduksi terjadinya agregasi trombosit sehingga transmisi cahaya melalui PRP meningkat. Agonist dapat berupa ADP (yang umumnya dipakai), epinferin, kolagen, thrombin, ristocetin). Beberapa macam obat yang dapat mempengaruhi hasil adalah : Aspirin, NSAID (Ibuprofen), antidepresi tricyclic, antihistamin, beberapa antibiotika, plasma expander Dextran, Warfarin, beta-blocker. Bila pasien mengkonsumsi obat tersebut, dianjurkan berhenti dua minggu sebelum pemeriksaan.

Gangguan fungsi trombosit kongenital terdapat pada :
- Von Willebrand’s disease : berhubungan dengan penurunan produksi atau disfungsi faktor von Willebrand
- Glanzman’s thromboasthenia : penurunan kemampuan agregasi trombosit
- Bernard-Soulier syndrome : penurunan kemampuan adhesi trombosit
- Storage pool disease : penurunan kemampuan trombosit mengeluarkan substansi untuk menginduksi agregasi

Gangguan fungsi trombosit didapat disebabkan oleh penyakit kronis seperti gagal ginjal (uremia), myeloproliferative disorders (MPDS), leukemia akut. Gangguan fungsi trombosit yang bersifat sementara dijumpai pada konsumsi obat aspirin dan NSAID, setelah operasi bypass jantung (CABG) yang berkepanjangan.


Posted via Blogaway

Minggu, 31 Agustus 2014

Thrombin time


Thrombin time (TT) diperoleh dengan menambahkan reagen thrombin ke plasma sitrate, mengukur waktu sejak ditambahkannya thrombin sampai terbentuknya bekuan darah pada suhu 37 oC, digunakan untuk mengetahui jumlah dan kualitas fibrinogen dan konversi fibrinogen (soluble protein) menjadi fibrin (insoluble protein). Bila pasien dalam terapi Heparin, digunakan reptilase sebagai pengganti thrombin (efek sama dengan thrombin tetapi tidak dihambat oleh Heparin). Reptilase digunakan untuk identifikasi Heparin sebagai penyebab pemanjangan TT.

Sampel darah untuk pemeriksaan menggunakan darah sitrat (vacutainer bertutup biru), dengan pengisian darah sesuai agar tercapai ratio antikoagulant terhadap darah adalah satu bagian antikoagulan per sembilan bagian darah. Nilai normal tergantung dari kadar thrombin yang dipakai, umumnya kurang dari 22 detik, tergantung dari metode yang digunakan.

Thrombin time digunakan mendiagnosis gangguan perdarahan, mengetahui efektivitas terapi fibrinolitik. Thrombin time memanjang pada afibrinogenemia, hipofibrinogenemia (kadar fibrinogen kurang dari 100 mg/ mL), dysfibrinogenemia, sirosis hepatis, karsinoma hepatoseluler, bayi baru lahir, terdapat inhibitor thrombin (Hepari, FDP, DIC), multiple myeloma, procainamide-induced anticoagulant, amiloidosis sistemik). Bila TT memanjang, pemeriksaan diulang dnegan menggunakan campuran plasma penderita dengan plasma kontrol (perbandingan 1:1) untuk mengetahui ada tidaknya inhibitor.


Posted via Blogaway

Pemeriksaan Fibrinogen

Fibrinogen dapat diukur dalam darah vena menggunakan sampel darah sitrate atau whole blood bila menggunakan metode viscoelastic methods seperti thrombelastometry (fungsi trombosit dihambat dengan cytochalasin D).

Peningkatan fibrinogen dijumpai pada infeksi akut atau kerusakan jaringan (perannya sebagai protein fase akut), keganasan, infark miokard, stroke, inflamasi (arthritis rheumatoid, glomerulonephritis), kehamilan, merokok sigaret, kontrasepsi oral, penggunaan preparat estrogen. Hipertensi disertai peningkatan fibrinogen meningkatkan resiko stroke. Beberapa klinisi melakukan pemeriksaan Fibrinogen disertai dengan C-reactive protein (CRP) untuk menentukan resiko penyakit kardiovaskuler dan sebagai pertimbangan dalam menangani faktor resiko lainnya seperti kolesterol dan HDL. Peningkatan fibrinogen yang berkaitan dengan infark miokard, stroke dan penyakit arteri perifer disebabkan oleh peningkatan viskositas, peningkatan koagulasi, peningkatan availabilitas untuk adhesi dan agregasi trombosit.

Penurunan fibrinogen menyebabkan penurunan kemampuan tubuh membentuk bekuan darah yang stabil. Penurunan fibrinogen kronis berkaitan dengan penurunan produksi akibat kelainan kongenital (afibrinogenemia, hipofibrinogenemia) atau kelainan didapat (stadium akhir penyakit hepar, malnutrisi). Penurunan fibrinogen akut disebabkan oleh peningkatan konsumsi fibrinogen seperti pada DIC, fibrinolisis abnormal, tranfusi darah masif dalam waktu singkat (hemodilusi), trauma. Dikatakan DIC bila dijumpai penurunan fibrinogen disertai pemanjangan PT atau APTT pada sepsis atau trauma. Obat-obatan tertentu dapat menurunkan kadar fibrinogen, antara lain steroid anabolik, androgen, phenobarbital, streptokinase, urokinase, asam valproat.

Gangguan polimerisasi fibrin dapat diinduksi oleh infus plasma expanders yang berakibat perdarahan hebat. Pada kasus dysfibrinogenemia, terdapat abnormalitas fungsi fibrinogen dengan jumlah normal, hal ini disebabkan oleh mutasi gen yang mengontrol produksi fibrinogen oleh hepar sehingga hepar memproduksi fibrinogen abnormal yang resisten terhadap degradasi saat dikonversi menjadi fibrin. Dysfibrinogenemia dapat meningkatkan resiko trombosis vena. Pasien dengan defisiensi fibrinogen atau gangguan polimerisasi fibrinogen dysfibrinogenemia dapat mengalami perdarahan sehingga diperlukan koreksi dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP), cryoprecipitate (plasma kaya fibrinogen) atau konsentrat fibrinogen.


Posted via Blogaway

Sabtu, 30 Agustus 2014

D- Dimer


D-Dimer adalah produk degradasi cross linked yang merupakan hasil akhir dari pemecahan bekuan fibrin oleh plasmin dalam sistem fibrinolitik. Pada proses pembentukan bekuan normal, bekuan fibrin terbentuk sebagai langkah akhir dari proses koagulasi yaitu dari hasil katalisis oleh trombin yang memecah fibrinogen menjadi fibrin monomer dengan melepaskan fibrinopeptida A dan fibrinopeptida B ( FPA dan FPB ). Fibrin monomer akan mengalami polimerisasi membentuk fibrin polimer yang selanjutnya oleh pengaruh faktor XIII akan terjadi ikatan silang, sehingga terbentuk cross-linked fibrin. Kemudian plasmin akan memecah cross-linked fibrin yang akan menghasilkan D-Dimer.
D-dimer digunakan untuk membantu melakukan diagnosis penyakit dan kondisi yang menyebabkan hiperkoagulabilitas, suatu kecenderungan darah untuk membeku melebihi ukuran normal. Paling sering ditemukan pada trombosis vena dalam (DVT) yang berhubungan dengan pembekuan darah di vena terutama di kaki yang menyebabkan penyumbatan alirah darah di kaki sehingga menimbulkan nyeri dan kerusakan jaringan. Keadaan ini dapat menimbulkan gumpalan kecil yang terpecah dan berjalan mengikuti aliran darah menuju bagian lain di tubuh sehingga dapat menimbulkan emboli paru (PE). sebagai positif. Pada sebagian besar kasus, bekuan darah terjadi di pembuluh vena, tetapi dapat juga terjadi pada arteri. Kombinasi dari dua jenis trombosis ini diistilahkan dengan tromboembolisme vena (VTE, venous thromboembolism). Bekuan darah pada arteri koronaria dapat berasal dari aritmia jantung fibrilasi atrium atau kerusakan katup jantung yang dapat berakibat heart attack. Bekuan dapat juga berasal dari kerusakan aterosklerosis, pecahan bekuan menyebabkan emboli dan menyumbat arteri organ lain seperti otak (stroke) dan ginjal.
Indikasi pemeriksaan D-dimer adalah pasien dengan gejala DVT , PE yang biasanya diikuti pemeriksaan PT, APTT dan jumlah trombosit untuk mendukung diagnosis. D-dimer juga dipakai untuk membantu melakukan diagnosis DIC , yang dapat timbul dari berbagai situasi seperti pembedahan, gigitan ular berbisa, penyakit hati dan setelah melahirkan. Pada DIC, faktor-faktor pembekuan darah diaktifkan secara bersamaan di seluruh tubuh sehingga menyebabkan pembekuan darah di bagian tubuh yang dapat beresiko pendarahan berlebihan.

Pemeriksaan D-Dimer menggunakan metode latex agglutination yang dimodifikasi atau menggunakan automated coagulation analyzer (Coagulometer Sysmex CA-500) untuk mengukur D-Dimer secara kuantitatif. Sampel darah vena dimasukan kedalam vacutainer yang mengandung sodium citras 9:1 dan dikirim ke laboratorium tanpa perlakuan khusus. Kemudian sampel ini disentrifugasi untuk mendapatkan supernatan untuk dilakukan pemeriksaan kadar D-Dimer, atau supernatan dapat disimpan pada suhu -200C stabil sampai 1 bulan. Prinsip pemeriksaan D-dimer adalah terbentuknya ikatan kovalen partikel polystyrene pada suatu antibodi monoklonal terhadap cross linkage region dari D-Dimer. Cross-linkage region tersebut memiliki struktur stereosimetrik yaitu epitop untuk antibodi monoklonal terjadi dua kali, konsekwensinya satu antibodi cukup untuk memacu reaksi aglutinasi yang kemudian di deteksi secara turbidimetrik dengan adanya peningkatan keseluruhan. Hasil metode automatik ini sebanding metode ELISA konvensional. Satuan untuk kadar D-dimer adalah g/L . Kadar D-dimer yang dihitung secaram otomatis dengan analyser mempunyai Cut off point 500 μg/L.

Kadar D-Dimer dalam batas nilai rujukan menunjukkan tidak terdapat penyakit atau keadaan akut yang menyebabkan pembentukan dan pemecahan bekuan, karena tes ini mengukur aktivitas fibrinolitik dalam darah. Peningkatan kadar D-Dimer menunjukan peningkatan produksi fibrin degradation products (FDP), terdapat pembentukan dan pemecahan trombus yang signifikan dalam tubuh tetapi tidak menunjukkan lokasinya. D-dimer meningkat pada post-operasi, trauma, infeksi, post-partum, eklampsia, penyakit jantung, keganasan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan D-dimer antara lain :
- Hasil negatif palsu pada terapi antikoagulan
- Hasil positif palsu pada usia tua, Rheumatoid factor, trigliserid tinggi, lipemia, bilirubin, hemolisis sampel darah. Fibrinogen.
Fibrinogen (F I) adalah glikoprotein plasma terlarut yang disintesis oleh hepatosit dan megakariosit. Fibrinogen sebagai prekursor fibrin, diubah menjadi fibrin oleh thrombin dengan bantuan serine protease thrombin selama proses pembekuan. Fibrinogen dapat membentuk jembatan diantara trombosit dengan cara berikatan dengan protein membran GpIIb/ IIIa di permukaan trombosit. Indikasi pemeriksaan fibrinogen adalah bila dijumpai abnormalitas PT dan APTT, kasus perdarahan yang belum diketahui penyebabnya, monitoring progresifitas suatu penyakit (misalnya penyakit hepar) dan monitoring terapi DIC.


Posted via Blogaway

Jumat, 29 Agustus 2014

Masa tromboplastin parsial teraktivasi (activated partial thromboplastin time, APTT)

Masa tromboplastin parsial teraktivasi (activated partial thromboplastin time, APTT) adalah uji laboratorium untuk menilai aktifitas faktor koagulasi jalur intrinsik dan jalur bersama, yaitu faktor XII (faktor Hagemen), pre-kalikrein, kininogen, faktor XI (plasma tromboplastin antecendent, PTA), faktor IX (factor Christmas), faktor VIII (antihemophilic factor, AHF), faktor X (faktor Stuart), faktor V (proakselerin), faktor II (protrombin) dan faktor I (fibrinogen). Tes ini untuk monitoring terapi heparin atau adanya circulating anticoagulant. APTT memanjang karena defisiensi faktor koagulasi instrinsik dan bersama jika kadarnya lebih dari 7 detik dari nilai normal, maka hasil pemeriksaan itu dianggap abnormal.

Pemeriksaan APTT dapat dilakukan dengan cara manual (visual) atau dengan alat otomatis (koagulometer), yang menggunakan metode foto-optik dan elektro-mekanik. Teknik manual memiliki bias individu yang sangat besar sehingga tidak dianjurkan lagi. Tetapi pada keadaan dimana kadar fibrinogen sangat rendah dan tidak dapat dideteksi dengan alat otomatis, metode ini masih dapat digunakan. Metode otomatis dapat memeriksa sampel dalam jumlah besar dengan cepat dan teliti.

Prinsip dari pemeriksaan APTT adalah menginkubasikan plasma sitrat yang mengandung semua faktor koagulasi intrinsik kecuali kalsium dan trombosit dengan tromboplastin parsial (fosfolipid) dengan bahan pengaktif (mis. kaolin, ellagic acid, mikronized silica atau celite koloidal). Penambahan kalsium akan memulai proses pembekuan (bekuan fibrin) dan waktu yang diperlukan untuk membentuk bekuan fibrin dicatat sebagai APTT.
Bahan pemeriksaan yang digunakan adalah darah vena dengan antikoagulan trisodium sitrat 3.2% (0.109 M) dengan perbandingan 9:1. Gunakan tabung plastik atau gelas yang dilapisi silikon. Sampel disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 2.500 g. Plasma dipisahkan dalam tabung plastik tahan 4 jam pada suhu 20 ± 5 oC. Jika dalam terapi heparin, plasma masih stabil dalam 2 jam pada suhu 20 ± 5 oC kalau sampling dengan antikoagulan citrate.

Nilai normal uji APTT adalah 20 – 35 detik, bervariasi untuk tiap laboratorium tergantung pada peralatan dan reagen yang digunakan.
Faktor yang dapat mempengaruhi hasil APTT adalah :
- Bekuan pada sampel darah
- Sampel darah hemolisis atau berbusa akibat dikocok-kocok
- Pengambilan sampel darah pada jalur intravena misal pada infus Heparin.

APTT memanjang dijumpai pada :
1. Defisiensi bawaan
- Jika PT normal, kemungkinan kekurangan Faktor VIII, Faktor IX, Faktor XI , Faktor XII
- Jika faktor koagulasi tersebut normal, kemungkinan kekurangan HMW kininogen
- Defisiensi vitamin K, defisiensi protrombin, hipofibrinogenemia.

2. Defisiensi didapat dan kondisi abnormal seperti :
- Penyakit hati (sirosis hati)
- Leukemia (mielositik, monositik)
- Penyakit von Willebrand (hemophilia vaskular)
- Malaria
- Koagulopati konsumtif, seperti pada DIC
- Circulating anticoagulant (antiprothrombinase atau circulating anticoagulant terhadap suatu faktor koagulasi)
- Selama terapi antikoagulan oral atau Heparin

Pasien dengan APTT panjang dan PT normal memiliki kelainan dalam jalur koagulasi intrinsik karena semua komponen uji aPTT kecuali koalin bersifat intrinsik terhadap plasma, sedangkan pada PT panjang dan aPTT normal terjadi kelainan dalam jalur koagulasi ekstrinsik terhadap plasma.


Posted via Blogaway

Kamis, 28 Agustus 2014

Masa Protrombin (PT)


Protrombin disintesis oleh hati dan merupakan prekursor tidak aktif dalam proses pembekuan. Protrombin (F II) dikonversi menjadi thrombin oleh tromboplastin untuk membentuk bekuan darah.
Pemeriksaan PT digunakan untuk menilai kemampuan faktor koagulasi jalur ekstrinsik dan jalur bersama, yaitu : faktor I (fibrinogen), faktor II (prothrombin), faktor V (proakselerin), faktor VII (prokonvertin), dan faktor X (faktor Stuart). Perubahan faktor V dan VII akan memperpanjang PT selama 2 detik atau 10% dari nilai normal.
PT diukur dalam detik. Dilakukan dengan cara menambahkan campuran kalsium dan tromboplastin pada plasma. Tromboplastin dapat dibuat dengan berbagai metoda sehingga menimbulkan variasi kepekaan terhadap penurunan faktor pembekuan yang bergantung pada vitamin K dan menyebabkan pengukuran waktu protrombin yang sama sering mencerminkan ambang efek antikoagulan yang berbeda. Usaha untuk mengatasi variasi kepekaan ini dilakukan dengan menggunakan sistem INR (International Normalized Ratio). International Committee for Standardization in Hematology (ICSH) menganjurkan tromboplastin jaringan yang digunakan harus distandardisasi dengan tromboplastin rujukan dari WHO dimana tromboplastin yang digunakan dikalibrasi terhadap sediaan baku atas dasar hubungan linier antara log rasio waktu protrombin dari sediaan baku dengan dari tromboplastin lokal.

INR didapatkan dengan membagi nilai PT yang didapat dengan nilai PT normal kemudian dipangkatkan dengan ISI di mana ISI adalah International Sensitivity Index. Jadi INR adalah rasio PT yang mencerminkan hasil yang akan diperoleh bila tromboplastin baku WHO yang digunakan, sedangkan ISI merupakan ukuran kepekaan sediaan tromboplastin terhadap penurunan faktor koagulasi yang bergantung pada vitamin K. Sediaan baku yang pertama mempunyai ISI = 1,0 ( tromboplastin yang kurang peka mempunyai ISI > 1,0). Dengan demikian cara paling efektif untuk standardisasi pelaporan PT adalah kombinasi sistim INR dengan pemakaian konsisten tromboplastin yang peka yang mempunyai nilai ISI sama.

INR digunakan untuk monitoring terapi warfarin (Coumadin) pada pasien jantung, stroke, deep vein thrombosis (DVT), katup jantung buatan, terapi jangka pendek setelah operasi misal knee replacements. INR hanya boleh digunakan setelah respons pasien stabil terhadap warfarin, yaitu minimal satu minggu terapi. Standar INR tidak boleh digunakan jika pasien baru memulai terapi warfarin untuk menghindari hasil yang salah pada uji. Pasien dalam terapi antikoagulan diharapkan nilai INR nya 2-3 , bila terdapat resiko tinggi terbentuk bekuan, iperluakn INR sekitar 2,5 – 3,5.

Bahan pemeriksaan PT adalah plasma sitrat yang diperoleh dari sampel darah vena dengan antikoagulan trisodium sitrat 3.2% (0.109 M) dengan perbandingan 9:1. Darah sitrat harus diperiksa dalam waktu selambat-lambatnya 2 jam setelah pengambilan. Sampel disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 2.500 g. Penyimpanan sampel plasma pada suhu 2-8 oC menyebabkan teraktivasinya F VII (prokonvertin) oleh sistem kalikrein.

PT dapat diukur secara manual (visual), foto-optik atau elektromekanik. Teknik manual memiliki bias individu yang sangat besar sehingga tidak dianjurkan lagi. Tetapi pada keadaan dimana kadar fibrinogen sangat rendah dan tidak dapat dideteksi dengan alat otomatis, metode ini masih dapat digunakan. Metode otomatis dapat memeriksa sampel dalam jumlah besar dengan cepat dan teliti.
Prinsip pengukuran PT adalah menilai terbentuknya bekuan bila ke dalam plasma yang telah diinkubasi ditambahkan campuran tromboplastin jaringan dan ion kalsium. Reagen yang digunakan adalah kalsium tromboplastin, yaitu tromboplastin jaringan dalam larutan CaCl2.
Beberapa jenis tromboplastin yang dapat dipergunakan misalnya :
- Tromboplastin jaringan berasal dari emulsi ekstrak organ otak, paru atau otak dan paru dari kelinci dalam larutan CaCl2 dengan pengawet sodium azida (misalnya Neoplastine CI plus)
- Tromboplastin jaringan dari plasenta manusia dalam larutan CaCl2 dan pengawet (misalnya Thromborel S).

PT memanjang karena defisiensi faktor koagulasi ekstrinsik dan bersama jika kadarnya <30%. Pemanjangan PT dijumpai pada penyakit hati (sirosis hati, hepatitis, abses hati, kanker hati, ikterus), afibrinogenemia, defisiensi faktor koagulasi (II, V, VII, X), disseminated intravascular coagulation (DIC), fibrinolisis, hemorrhagic disease of the newborn (HDN), gangguan reabsorbsi usus. Pada penyakit hati PT memanjang karena sel hati tidak dapat mensintesis protrombin. Pemanjangan PT dapat disebabkan pengaruh obat-obatan : vitamin K antagonis, antibiotik (penisilin, streptomisin, karbenisilin, kloramfenikol, kanamisin, neomisin, tetrasiklin), antikoagulan oral (warfarin, dikumarol), klorpromazin, klordiazepoksid, difenilhidantoin , heparin, metildopa), mitramisin, reserpin, fenilbutazon , quinidin, salisilat/ aspirin, sulfonamide. PT memendek pada tromboflebitis, infark miokardial, embolisme pulmonal. Pengaruh Obat : barbiturate, digitalis, diuretik, difenhidramin, kontrasepsi oral, rifampisin dan metaproterenol.
Faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan PT adalah sampel darah membeku, membiarkan sampel darah sitrat disimpan pada suhu kamar selama beberapa jam, diet tinggi lemak (pemendekan PT) dan penggunaan alkohol (pemanjangan PT) >br>
Masa Tromboplastin Parsial Teraktivasi Tromboplastin parsial adalah fosfolipid yang berfungsi sebagai pengganti trombosit factor 3 (PF3), dapat berasal dari manusia, tumbuhan dan hewan, dengan aktivator seperti kaolin, ellagic acid, micronized silica atau celite. Reagen komersil yang dipakai misalnya CK Prest 2 yang berasal dari jaringan otak kelinci dengan kaolin sebagai aktivator. Reagen Patrhrombin SL menggunakan fosfolipid dari tumbuhan dengan aktivator micronized silica.

Posted via Blogaway


Posted via Blogaway

Rabu, 27 Agustus 2014

Pemeriksaan Bleeding time (BT) dan Activated Clotting Time (ACT)

Bleeding Time

Bleeding time (BT) menilai kemampuan darah untuk membeku setelah adanya luka atau trauma, dimana trombosit berinteraksi dengan dinding pembuluh darah untuk membentuk bekuan. Prinsip pemeriksaannya adalah mengukur lamanya waktu perdarahan setelah insisi standart pada lengan bawah atau cuping telinga. Bleeding time digunakan untuk pemeriksaan penyaring hemostasis primer atau interaksi antara trombosit dan pembuluh darah dalam membentuk sumbat hemostatik, pasien dengan perdarahan yang memanjang setelah luka, pasien dengan riwayat keluarga gangguan perdarahan.

Pemeriksaan BT dapat dilakukan dengan metoda Ivy , yaitu dilakukan insisi dengan lanset sepanjang 10 mm dan kedalaman 1 mm di lengan bawah kemudian setiap 30 detik darah dihapus dengan kertas filter sampai perdarahan berhenti, atau dengan metoda Duke dengan cara yang sama insisi di lokasi cuping telinga sedalam 3-4 mm.

BT memanjang pada gangguan fungsi trombosit atau jumlah trombosit dibawah 100.000/ mm3. Pemanjangan BT menunjukkan adanya defek hemostasis, termasuk didalamnya trombositopenia (biasanya dibawah 100.000/ mm3), gangguan fungsi trombosit heriditer, defek vaskuler kegagalan vasokonstriksi), Von Willebrand's disease, disseminated intravascular coagulation (DIC), defek fungsi trombosit (Bernard-Soulier disease dan Glanzmann’s thrombasthenia) , obat-obatan (aspirin/ ASA, inhibitor siklooksigenase, warfarin, heparin, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID), beta-blockers, alkohol, antibiotika) dan hipofibrinogenemia. Trombositopenia akibat defek produksi oleh sumsum tulang menyebabkan pemanjangan BT lebih berat dibandingkan trombositopenia akibat destruksi berlebih trombosit. Pasien dengan von Willebrand’s disease hasil BT memanjang karena faktor von Willebrand merupakan trombosit agglutination protein. BT normal tidak menyingkirkan kemungkinan terjadinya perdarahan hebat pada tindakan invasif.

Activated Clotting Time (ACT)
ACT pertama kali ditemukan oleh Hatterseley pada tahun 1966, adalah pemeriksaan waktu pembekuan untuk monitoring terapi antikoagulasi Heparin, digunakan terutama pada kateterisasi jantung dan bedah jantung terbuka CABG. Heparin adalah polisakarida, suatu inhibitor pembekuan darah yang diberikan secara intravena karena tidak efektif diabsorbsi dari traktus digestivus, digunakan sebagai pencegahan dan terapi tromboemboli. Heparin memerlukan kofaktor AT III (anti trombin III), suatu antikoagulan alami pada jalur intrinsik, untuk dapat bertindak sebagai antikoagulan. AT III bersama Heparin mengikat faktor koagulasi yang teraktivasi dan trombin sehingga menghambat terbentuknya fibrin. Sensitivitas pasien terhadap Heparin sangat bervariasi dipengaruhi oleh obat-obatan seperti nitrogliserin. Resistensi Heparin dapat disebabkan oleh penurunan kemampuan dan fungsi AT III, trombositopenia, trombositosis, umur pasien, konsentrasi hemoglobin, nitrogliserin, antikoagulan oral (memperpanjang waktu pembekuan). Hipotermia akan memperlambat pembentukan bekuan darah.

Monitoring sangat penting pada terapi Heparin ok bila dosis tidak mencukupi untuk menghambat koagulasi akan terbentuk bekuan darah di sepanjang pembuluh darah dan bila dosis heparin berlebihan akan terjadi komplikasi perdarahan yang mangancam jiwa. Heparin dosis tinggi diberikan sebelum, selama dan beberapa saat setelah operasi jantung Selama operasi berlangsung, darah difiltrasi dan dioksigenasi diluar tubuh menggunakan mesin jantung paru, dimana kontak darah dengan permukaan artifisial mesin akan memacu koagulasi membentuk bekuan darah, dengan dosis tinggi Heparin akan mencegah terbentuknya bekuan darah.

Indikasi pemeriksaan ACT adalah setelah pemberian dosis awal bolus Heparin, bedah jantung terbuka (sebelum, selama dan beberapa saat setelahnya), tindakan kateterisasi jantung, tindakan lain yang memerlukan antikoagulan dosis tinggi, pemeriksaan biasanya dilakukan secara serial. ACT mengukur efek inhibisi Heparin terhadap koagulasi bukan konsentrasi Heparin dalam darah.

Prinsip pemeriksaan ACT adalah mengukur waktu terbentuknya fibrin dengan cara interaksi sampel darah dengan activating agent Kaolin pada alat, kemudian secara elektronik diukur waktu terbentuknya serabut fibrin. Sampel darah dapat berupa whole blood atau darah sitrat.
Beberapa keadaan yang dapat mempengaruhi hasil ACT adalah :
- Tidak dilakukannya pemanasan alat hingga 37º C
- Hipotermia
- Bahan kateter jantung dan clearing heparin flush
- Hemodilusi
- Jumlah dan fungsi trombosit
Trombosit yang teraktivasi selama operasi biasanya menjadi disfungsional
- Pemberian Protamine sulfate
- Keadaan tertentu misalnya antibodi lupus dan defisiensi faktor pembekuan darah

ACT diukur dalam satuan detik. Makin tinggi hasil ACT maka makin tinggi derajat inhibisi pembekuan darah. Clotting time memanjang bila terdapat defisiensi berat faktor pembekuan pada jalur intrinsik dan jalur bersama, misalnya pada hemofilia (defisiensi F VIIc dan F Ixc), terapi antikoagulan sistemik (Heparin). Selama operasi CABG, ACT dipertahankan pada batas bawah dimana pasien diharapkan tidak dapat membentuk bekuan darah. Setelah operasi, ACT dipertahankan dalam batas 175-225 detik sampai keadaan pasien stabil.


Posted via Blogaway

Selasa, 26 Agustus 2014

PEMERIKSAAN KOAGULASI DARAH DAN INTERPRETASI

DASAR PEMERIKSAAN KOAGULASI DARAH DAN INTERPRETASI
Hemostasis adalah kemampuan alami untuk menghentikan perdarahan pada lokasi luka oleh spasme pembuluh darah, adhesi trombosit dan keterlibatan aktif faktor koagulasi, adanya koordinasi dari endotel pembuluh darah, agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Fungsi utama mekanisme koagulasi adalah menjaga keenceran darah (blood fluidity) sehingga darah dapat mengalir dalam sirkulasi dengan baik, serta membentuk thrombus sementara atau hemostatic thrombus pada dinding pembuluh darah yang mengalami kerusakan (vascular injury). Hemostasis terdiri dari enam komponen utama, yaitu: trombosit, endotel vaskuler, procoagulant plasma protein faktors, natural anticoagulant proteins, protein fibrinolitik dan protein antifibrinolitik. Semua komponen ini harus tersedia dalam jumlah cukup, dengan fungsi yang baik serta tempat yang tepat untuk dapat menjalankan faal hemostasis dengan baik. Interaksi komponen ini dapat memacu terjadinya thrombosis disebut sebagai sifat prothrombotik dan dapat juga menghambat proses thrombosis yang berlebihan, disebut sebagai sifat antithrombotik. Faal hemostasis dapat berjalan normal jika terdapat keseimbangan antara faktor prothrombotik dan faktor antithrombotik. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai patofisiologik dan prinsip pemeriksaan laboratorium dari masing2 faktor yang berperan dalam proses koagulasi dan interpretasi hasilnya.

PATOFISIOLOGI DAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hemostasis normal dapat dibagi menjadi dua tahap: yaitu hemostasis primer dan hemostasis sekunder. Pada hemostasis primer yang berperan adalah komponen vaskuler dan komponen trombosit. Disini terbentuk sumbat trombosit (trombosit plug) yang berfungsi segera menutup kerusakan dinding pembuluh darah. Sedangkan pada hemostasis sekunder yang berperan adalah protein pembekuan darah, juga dibantu oleh trombosit. Disini terjadi deposisi fibrin pada sumbat trombosit sehingga sumbat ini menjadi lebih kuat yang disebut sebagai stable fibrin plug. Proses koagulasi pada hemostasis sekunder merupakan suatu rangkaian reaksi dimana terjadi pengaktifan suatu prekursor protein (zymogen) menjadi bentuk aktif. Bentuk aktif ini sebagian besar merupakan serine protease yang memecah protein pada asam amino tertentu sehingga protein pembeku tersebut menjadi aktif. Sebagai hasil akhir adalah pemecahan fibrinogen menjadi fibrin yang akhirnya membentuk cross linked fibrin. Proses ini jika dilihat secara skematik tampak sebagai suatu air terjun (waterfall) atau sebagai suatu tangga (cascade).

Proses koagulasi dapat dimulai melalui dua jalur, yaitu jalur ekstrinsik (extrinsic pathway) dan jalur intrinsik (intrinsic pathway). Jalur ekstrinsik dimulai jika terjadi kerusakan vaskuler sehingga faktor jaringan (tissue factor) mengalami pemaparan terhadap komponen darah dalam sirkulasi. Faktor jaringan dengan bantuan kalsium menyebabkan aktivasi faktor VII menjadi FVIIa. Kompleks FVIIa, tissue factor dan kalsium (disebut sebagai extrinsic tenase complex) mengaktifkan faktor X menjadi FXa dan faktor IX menjadi FIXa. Jalur ekstrinsik berlangsung pendek karena dihambat oleh tissue factor pathway inhibitor (TFPI). Jadi jalur ekstrinsik hanya memulai proses koagulasi, begitu terbentuk sedikit thrombin, maka thrombin akan mengaktifkan faktor IX menjadi FIXa lebih lanjut, sehingga proses koagulasi dilanjutkan oleh jalur intrinsik. Jalur intrinsik dimulai dengan adanya contact activation yang melibatkan faktor XII, prekalikrein dan high molecular weigth kinninogen (HMWK) yang kemudian mengaktifkan faktor IX menjadi FIXa. Akhir-akhir ini peran faktor XII, HMWK dan prekalikrein dalam proses koagulasi dipertanyakan. Proses selanjutnya adalah pembentukan intrinsic tenase complex yang melibatkan FIXa, FVIIIa, posfolipid dari PF3 (trombosit factor 3) dan kalsium. Intrinsic tenase complex akan mengaktifkan faktor X menjadi FXa. Langkah berikutnya adalah pembentukan kompleks yang terdiri dari FXa, FVa, posfolipid dari PF3 serta kalsium yang disebut sebagai prothrombinase complex yang mengubah prothrombin menjadi thrombin yang selanjutnya memecah fibrinogen menjadi fibrin.

Pada pemeriksaan hemostasis, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
- Antikoagulan : Natrium sitrat 0,109 M dengan pernbandingan 9 bagian darah dan 1 bagian Natrium sitrat. Untuk hitung trombosit antikoagulan yang dipakai adalah Na2EDTA
- Penampung : Bahan plastik atau gelas yang dilapisi silikon, untuk mencegah terjadinya aktivasi faktor pembekuan
- Semprit dan jarum : ukuran besar, paling kecil nomor 20
- Cara pengambilan darah : Hindari masuknya tromboplastin jaringan, sebaiknya digunakan 2 semprit dimana darah pada semprit pertama dibuang karena dikhawatirkan tercemar tromboplastin jaringan
- Kontrol : Diperiksa 1 kontrol normal (tersedia secara komersial) dan 1 kontrol abnormal
- Penyimpanan dan pengiriman bahan : Sampel darah segera dikerjakan, harus selesai dalam 3 jam setelah pengambilan darah. Bila harus ditunda, plasma sitrat disimpan dalam tempat plastik tertutup dalam keadaan beku

Bleeding Time

Bleeding time (BT) menilai kemampuan darah untuk membeku setelah adanya luka atau trauma, dimana trombosit berinteraksi dengan dinding pembuluh darah untuk membentuk bekuan. Prinsip pemeriksaannya adalah mengukur lamanya waktu perdarahan setelah insisi standart pada lengan bawah atau cuping telinga. Bleeding time digunakan untuk pemeriksaan penyaring hemostasis primer atau interaksi antara trombosit dan pembuluh darah dalam membentuk sumbat hemostatik, pasien dengan perdarahan yang memanjang setelah luka, pasien dengan riwayat keluarga gangguan perdarahan.

Pemeriksaan BT dapat dilakukan dengan metoda Ivy , yaitu dilakukan insisi dengan lanset sepanjang 10 mm dan kedalaman 1 mm di lengan bawah kemudian setiap 30 detik darah dihapus dengan kertas filter sampai perdarahan berhenti, atau dengan metoda Duke dengan cara yang sama insisi di lokasi cuping telinga sedalam 3-4 mm.

BT memanjang pada gangguan fungsi trombosit atau jumlah trombosit dibawah 100.000/ mm3. Pemanjangan BT menunjukkan adanya defek hemostasis, termasuk didalamnya trombositopenia (biasanya dibawah 100.000/ mm3), gangguan fungsi trombosit heriditer, defek vaskuler kegagalan vasokonstriksi), Von Willebrand's disease, disseminated intravascular coagulation (DIC), defek fungsi trombosit (Bernard-Soulier disease dan Glanzmann’s thrombasthenia) , obat-obatan (aspirin/ ASA, inhibitor siklooksigenase, warfarin, heparin, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID), beta-blockers, alkohol, antibiotika) dan hipofibrinogenemia. Trombositopenia akibat defek produksi oleh sumsum tulang menyebabkan pemanjangan BT lebih berat dibandingkan trombositopenia akibat destruksi berlebih trombosit. Pasien dengan von Willebrand’s disease hasil BT memanjang karena faktor von Willebrand merupakan trombosit agglutination protein. BT normal tidak menyingkirkan kemungkinan terjadinya perdarahan hebat pada tindakan invasif.

Activated Clotting Time (ACT)
ACT pertama kali ditemukan oleh Hatterseley pada tahun 1966, adalah pemeriksaan waktu pembekuan untuk monitoring terapi antikoagulasi Heparin, digunakan terutama pada kateterisasi jantung dan bedah jantung terbuka CABG. Heparin adalah polisakarida, suatu inhibitor pembekuan darah yang diberikan secara intravena karena tidak efektif diabsorbsi dari traktus digestivus, digunakan sebagai pencegahan dan terapi tromboemboli. Heparin memerlukan kofaktor AT III (anti trombin III), suatu antikoagulan alami pada jalur intrinsik, untuk dapat bertindak sebagai antikoagulan. AT III bersama Heparin mengikat faktor koagulasi yang teraktivasi dan trombin sehingga menghambat terbentuknya fibrin. Sensitivitas pasien terhadap Heparin sangat bervariasi dipengaruhi oleh obat-obatan seperti nitrogliserin. Resistensi Heparin dapat disebabkan oleh penurunan kemampuan dan fungsi AT III, trombositopenia, trombositosis, umur pasien, konsentrasi hemoglobin, nitrogliserin, antikoagulan oral (memperpanjang waktu pembekuan). Hipotermia akan memperlambat pembentukan bekuan darah.

Monitoring sangat penting pada terapi Heparin ok bila dosis tidak mencukupi untuk menghambat koagulasi akan terbentuk bekuan darah di sepanjang pembuluh darah dan bila dosis heparin berlebihan akan terjadi komplikasi perdarahan yang mangancam jiwa. Heparin dosis tinggi diberikan sebelum, selama dan beberapa saat setelah operasi jantung Selama operasi berlangsung, darah difiltrasi dan dioksigenasi diluar tubuh menggunakan mesin jantung paru, dimana kontak darah dengan permukaan artifisial mesin akan memacu koagulasi membentuk bekuan darah, dengan dosis tinggi Heparin akan mencegah terbentuknya bekuan darah.

Indikasi pemeriksaan ACT adalah setelah pemberian dosis awal bolus Heparin, bedah jantung terbuka (sebelum, selama dan beberapa saat setelahnya), tindakan kateterisasi jantung, tindakan lain yang memerlukan antikoagulan dosis tinggi, pemeriksaan biasanya dilakukan secara serial. ACT mengukur efek inhibisi Heparin terhadap koagulasi bukan konsentrasi Heparin dalam darah.

Prinsip pemeriksaan ACT adalah mengukur waktu terbentuknya fibrin dengan cara interaksi sampel darah dengan activating agent Kaolin pada alat, kemudian secara elektronik diukur waktu terbentuknya serabut fibrin. Sampel darah dapat berupa whole blood atau darah sitrat.
Beberapa keadaan yang dapat mempengaruhi hasil ACT adalah :
- Tidak dilakukannya pemanasan alat hingga 37º C
- Hipotermia
- Bahan kateter jantung dan clearing heparin flush
- Hemodilusi
- Jumlah dan fungsi trombosit
Trombosit yang teraktivasi selama operasi biasanya menjadi disfungsional
- Pemberian Protamine sulfate
- Keadaan tertentu misalnya antibodi lupus dan defisiensi faktor pembekuan darah

ACT diukur dalam satuan detik. Makin tinggi hasil ACT maka makin tinggi derajat inhibisi pembekuan darah. Clotting time memanjang bila terdapat defisiensi berat faktor pembekuan pada jalur intrinsik dan jalur bersama, misalnya pada hemofilia (defisiensi F VIIc dan F Ixc), terapi antikoagulan sistemik (Heparin). Selama operasi CABG, ACT dipertahankan pada batas bawah dimana pasien diharapkan tidak dapat membentuk bekuan darah. Setelah operasi, ACT dipertahankan dalam batas 175-225 detik sampai keadaan pasien stabil.

Masa Protrombin Plasma (PT)
Protrombin disintesis oleh hati dan merupakan prekursor tidak aktif dalam proses pembekuan. Protrombin (F II) dikonversi menjadi thrombin oleh tromboplastin untuk membentuk bekuan darah.
Pemeriksaan PT digunakan untuk menilai kemampuan faktor koagulasi jalur ekstrinsik dan jalur bersama, yaitu : faktor I (fibrinogen), faktor II (prothrombin), faktor V (proakselerin), faktor VII (prokonvertin), dan faktor X (faktor Stuart). Perubahan faktor V dan VII akan memperpanjang PT selama 2 detik atau 10% dari nilai normal.
PT diukur dalam detik. Dilakukan dengan cara menambahkan campuran kalsium dan tromboplastin pada plasma. Tromboplastin dapat dibuat dengan berbagai metoda sehingga menimbulkan variasi kepekaan terhadap penurunan faktor pembekuan yang bergantung pada vitamin K dan menyebabkan pengukuran waktu protrombin yang sama sering mencerminkan ambang efek antikoagulan yang berbeda. Usaha untuk mengatasi variasi kepekaan ini dilakukan dengan menggunakan sistem INR (International Normalized Ratio). International Committee for Standardization in Hematology (ICSH) menganjurkan tromboplastin jaringan yang digunakan harus distandardisasi dengan tromboplastin rujukan dari WHO dimana tromboplastin yang digunakan dikalibrasi terhadap sediaan baku atas dasar hubungan linier antara log rasio waktu protrombin dari sediaan baku dengan dari tromboplastin lokal.

INR didapatkan dengan membagi nilai PT yang didapat dengan nilai PT normal kemudian dipangkatkan dengan ISI di mana ISI adalah International Sensitivity Index. Jadi INR adalah rasio PT yang mencerminkan hasil yang akan diperoleh bila tromboplastin baku WHO yang digunakan, sedangkan ISI merupakan ukuran kepekaan sediaan tromboplastin terhadap penurunan faktor koagulasi yang bergantung pada vitamin K. Sediaan baku yang pertama mempunyai ISI = 1,0 ( tromboplastin yang kurang peka mempunyai ISI > 1,0). Dengan demikian cara paling efektif untuk standardisasi pelaporan PT adalah kombinasi sistim INR dengan pemakaian konsisten tromboplastin yang peka yang mempunyai nilai ISI sama.

INR digunakan untuk monitoring terapi warfarin (Coumadin) pada pasien jantung, stroke, deep vein thrombosis (DVT), katup jantung buatan, terapi jangka pendek setelah operasi misal knee replacements. INR hanya boleh digunakan setelah respons pasien stabil terhadap warfarin, yaitu minimal satu minggu terapi. Standar INR tidak boleh digunakan jika pasien baru memulai terapi warfarin untuk menghindari hasil yang salah pada uji. Pasien dalam terapi antikoagulan diharapkan nilai INR nya 2-3 , bila terdapat resiko tinggi terbentuk bekuan, iperluakn INR sekitar 2,5 – 3,5.

Bahan pemeriksaan PT adalah plasma sitrat yang diperoleh dari sampel darah vena dengan antikoagulan trisodium sitrat 3.2% (0.109 M) dengan perbandingan 9:1. Darah sitrat harus diperiksa dalam waktu selambat-lambatnya 2 jam setelah pengambilan. Sampel disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 2.500 g. Penyimpanan sampel plasma pada suhu 2-8 oC menyebabkan teraktivasinya F VII (prokonvertin) oleh sistem kalikrein.

PT dapat diukur secara manual (visual), foto-optik atau elektromekanik. Teknik manual memiliki bias individu yang sangat besar sehingga tidak dianjurkan lagi. Tetapi pada keadaan dimana kadar fibrinogen sangat rendah dan tidak dapat dideteksi dengan alat otomatis, metode ini masih dapat digunakan. Metode otomatis dapat memeriksa sampel dalam jumlah besar dengan cepat dan teliti.
Prinsip pengukuran PT adalah menilai terbentuknya bekuan bila ke dalam plasma yang telah diinkubasi ditambahkan campuran tromboplastin jaringan dan ion kalsium. Reagen yang digunakan adalah kalsium tromboplastin, yaitu tromboplastin jaringan dalam larutan CaCl2.
Beberapa jenis tromboplastin yang dapat dipergunakan misalnya :
- Tromboplastin jaringan berasal dari emulsi ekstrak organ otak, paru atau otak dan paru dari kelinci dalam larutan CaCl2 dengan pengawet sodium azida (misalnya Neoplastine CI plus)
- Tromboplastin jaringan dari plasenta manusia dalam larutan CaCl2 dan pengawet (misalnya Thromborel S).

PT memanjang karena defisiensi faktor koagulasi ekstrinsik dan bersama jika kadarnya <30%. Pemanjangan PT dijumpai pada penyakit hati (sirosis hati, hepatitis, abses hati, kanker hati, ikterus), afibrinogenemia, defisiensi faktor koagulasi (II, V, VII, X), disseminated intravascular coagulation (DIC), fibrinolisis, hemorrhagic disease of the newborn (HDN), gangguan reabsorbsi usus. Pada penyakit hati PT memanjang karena sel hati tidak dapat mensintesis protrombin. Pemanjangan PT dapat disebabkan pengaruh obat-obatan : vitamin K antagonis, antibiotik (penisilin, streptomisin, karbenisilin, kloramfenikol, kanamisin, neomisin, tetrasiklin), antikoagulan oral (warfarin, dikumarol), klorpromazin, klordiazepoksid, difenilhidantoin , heparin, metildopa), mitramisin, reserpin, fenilbutazon , quinidin, salisilat/ aspirin, sulfonamide. PT memendek pada tromboflebitis, infark miokardial, embolisme pulmonal. Pengaruh Obat : barbiturate, digitalis, diuretik, difenhidramin, kontrasepsi oral, rifampisin dan metaproterenol.
Faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan PT adalah sampel darah membeku, membiarkan sampel darah sitrat disimpan pada suhu kamar selama beberapa jam, diet tinggi lemak (pemendekan PT) dan penggunaan alkohol (pemanjangan PT) >br>
Masa Tromboplastin Parsial Teraktivasi Tromboplastin parsial adalah fosfolipid yang berfungsi sebagai pengganti trombosit factor 3 (PF3), dapat berasal dari manusia, tumbuhan dan hewan, dengan aktivator seperti kaolin, ellagic acid, micronized silica atau celite. Reagen komersil yang dipakai misalnya CK Prest 2 yang berasal dari jaringan otak kelinci dengan kaolin sebagai aktivator. Reagen Patrhrombin SL menggunakan fosfolipid dari tumbuhan dengan aktivator micronized silica.

Masa tromboplastin parsial teraktivasi (activated partial thromboplastin time, APTT) adalah uji laboratorium untuk menilai aktifitas faktor koagulasi jalur intrinsik dan jalur bersama, yaitu faktor XII (faktor Hagemen), pre-kalikrein, kininogen, faktor XI (plasma tromboplastin antecendent, PTA), faktor IX (factor Christmas), faktor VIII (antihemophilic factor, AHF), faktor X (faktor Stuart), faktor V (proakselerin), faktor II (protrombin) dan faktor I (fibrinogen). Tes ini untuk monitoring terapi heparin atau adanya circulating anticoagulant. APTT memanjang karena defisiensi faktor koagulasi instrinsik dan bersama jika kadarnya lebih dari 7 detik dari nilai normal, maka hasil pemeriksaan itu dianggap abnormal.

Pemeriksaan APTT dapat dilakukan dengan cara manual (visual) atau dengan alat otomatis (koagulometer), yang menggunakan metode foto-optik dan elektro-mekanik. Teknik manual memiliki bias individu yang sangat besar sehingga tidak dianjurkan lagi. Tetapi pada keadaan dimana kadar fibrinogen sangat rendah dan tidak dapat dideteksi dengan alat otomatis, metode ini masih dapat digunakan. Metode otomatis dapat memeriksa sampel dalam jumlah besar dengan cepat dan teliti.

Prinsip dari pemeriksaan APTT adalah menginkubasikan plasma sitrat yang mengandung semua faktor koagulasi intrinsik kecuali kalsium dan trombosit dengan tromboplastin parsial (fosfolipid) dengan bahan pengaktif (mis. kaolin, ellagic acid, mikronized silica atau celite koloidal). Penambahan kalsium akan memulai proses pembekuan (bekuan fibrin) dan waktu yang diperlukan untuk membentuk bekuan fibrin dicatat sebagai APTT.
Bahan pemeriksaan yang digunakan adalah darah vena dengan antikoagulan trisodium sitrat 3.2% (0.109 M) dengan perbandingan 9:1. Gunakan tabung plastik atau gelas yang dilapisi silikon. Sampel disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 2.500 g. Plasma dipisahkan dalam tabung plastik tahan 4 jam pada suhu 20 ± 5 oC. Jika dalam terapi heparin, plasma masih stabil dalam 2 jam pada suhu 20 ± 5 oC kalau sampling dengan antikoagulan citrate.

Nilai normal uji APTT adalah 20 – 35 detik, bervariasi untuk tiap laboratorium tergantung pada peralatan dan reagen yang digunakan.
Faktor yang dapat mempengaruhi hasil APTT adalah :
- Bekuan pada sampel darah
- Sampel darah hemolisis atau berbusa akibat dikocok-kocok
- Pengambilan sampel darah pada jalur intravena misal pada infus Heparin.

APTT memanjang dijumpai pada :
1. Defisiensi bawaan
- Jika PT normal, kemungkinan kekurangan Faktor VIII, Faktor IX, Faktor XI , Faktor XII
- Jika faktor koagulasi tersebut normal, kemungkinan kekurangan HMW kininogen
- Defisiensi vitamin K, defisiensi protrombin, hipofibrinogenemia.

2. Defisiensi didapat dan kondisi abnormal seperti :
- Penyakit hati (sirosis hati)
- Leukemia (mielositik, monositik)
- Penyakit von Willebrand (hemophilia vaskular)
- Malaria
- Koagulopati konsumtif, seperti pada DIC
- Circulating anticoagulant (antiprothrombinase atau circulating anticoagulant terhadap suatu faktor koagulasi)
- Selama terapi antikoagulan oral atau Heparin

Pasien dengan APTT panjang dan PT normal memiliki kelainan dalam jalur koagulasi intrinsik karena semua komponen uji aPTT kecuali koalin bersifat intrinsik terhadap plasma, sedangkan pada PT panjang dan aPTT normal terjadi kelainan dalam jalur koagulasi ekstrinsik terhadap plasma.

D- Dimer
D-Dimer adalah produk degradasi cross linked yang merupakan hasil akhir dari pemecahan bekuan fibrin oleh plasmin dalam sistem fibrinolitik. Pada proses pembentukan bekuan normal, bekuan fibrin terbentuk sebagai langkah akhir dari proses koagulasi yaitu dari hasil katalisis oleh trombin yang memecah fibrinogen menjadi fibrin monomer dengan melepaskan fibrinopeptida A dan fibrinopeptida B ( FPA dan FPB ). Fibrin monomer akan mengalami polimerisasi membentuk fibrin polimer yang selanjutnya oleh pengaruh faktor XIII akan terjadi ikatan silang, sehingga terbentuk cross-linked fibrin. Kemudian plasmin akan memecah cross-linked fibrin yang akan menghasilkan D-Dimer.
D-dimer digunakan untuk membantu melakukan diagnosis penyakit dan kondisi yang menyebabkan hiperkoagulabilitas, suatu kecenderungan darah untuk membeku melebihi ukuran normal. Paling sering ditemukan pada trombosis vena dalam (DVT) yang berhubungan dengan pembekuan darah di vena terutama di kaki yang menyebabkan penyumbatan alirah darah di kaki sehingga menimbulkan nyeri dan kerusakan jaringan. Keadaan ini dapat menimbulkan gumpalan kecil yang terpecah dan berjalan mengikuti aliran darah menuju bagian lain di tubuh sehingga dapat menimbulkan emboli paru (PE). sebagai positif. Pada sebagian besar kasus, bekuan darah terjadi di pembuluh vena, tetapi dapat juga terjadi pada arteri. Kombinasi dari dua jenis trombosis ini diistilahkan dengan tromboembolisme vena (VTE, venous thromboembolism). Bekuan darah pada arteri koronaria dapat berasal dari aritmia jantung fibrilasi atrium atau kerusakan katup jantung yang dapat berakibat heart attack. Bekuan dapat juga berasal dari kerusakan aterosklerosis, pecahan bekuan menyebabkan emboli dan menyumbat arteri organ lain seperti otak (stroke) dan ginjal.
Indikasi pemeriksaan D-dimer adalah pasien dengan gejala DVT , PE yang biasanya diikuti pemeriksaan PT, APTT dan jumlah trombosit untuk mendukung diagnosis. D-dimer juga dipakai untuk membantu melakukan diagnosis DIC , yang dapat timbul dari berbagai situasi seperti pembedahan, gigitan ular berbisa, penyakit hati dan setelah melahirkan. Pada DIC, faktor-faktor pembekuan darah diaktifkan secara bersamaan di seluruh tubuh sehingga menyebabkan pembekuan darah di bagian tubuh yang dapat beresiko pendarahan berlebihan.

Pemeriksaan D-Dimer menggunakan metode latex agglutination yang dimodifikasi atau menggunakan automated coagulation analyzer (Coagulometer Sysmex CA-500) untuk mengukur D-Dimer secara kuantitatif. Sampel darah vena dimasukan kedalam vacutainer yang mengandung sodium citras 9:1 dan dikirim ke laboratorium tanpa perlakuan khusus. Kemudian sampel ini disentrifugasi untuk mendapatkan supernatan untuk dilakukan pemeriksaan kadar D-Dimer, atau supernatan dapat disimpan pada suhu -200C stabil sampai 1 bulan. Prinsip pemeriksaan D-dimer adalah terbentuknya ikatan kovalen partikel polystyrene pada suatu antibodi monoklonal terhadap cross linkage region dari D-Dimer. Cross-linkage region tersebut memiliki struktur stereosimetrik yaitu epitop untuk antibodi monoklonal terjadi dua kali, konsekwensinya satu antibodi cukup untuk memacu reaksi aglutinasi yang kemudian di deteksi secara turbidimetrik dengan adanya peningkatan keseluruhan. Hasil metode automatik ini sebanding metode ELISA konvensional. Satuan untuk kadar D-dimer adalah g/L . Kadar D-dimer yang dihitung secaram otomatis dengan analyser mempunyai Cut off point 500 μg/L.

Kadar D-Dimer dalam batas nilai rujukan menunjukkan tidak terdapat penyakit atau keadaan akut yang menyebabkan pembentukan dan pemecahan bekuan, karena tes ini mengukur aktivitas fibrinolitik dalam darah. Peningkatan kadar D-Dimer menunjukan peningkatan produksi fibrin degradation products (FDP), terdapat pembentukan dan pemecahan trombus yang signifikan dalam tubuh tetapi tidak menunjukkan lokasinya. D-dimer meningkat pada post-operasi, trauma, infeksi, post-partum, eklampsia, penyakit jantung, keganasan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan D-dimer antara lain :
- Hasil negatif palsu pada terapi antikoagulan
- Hasil positif palsu pada usia tua, Rheumatoid factor, trigliserid tinggi, lipemia, bilirubin, hemolisis sampel darah. Fibrinogen.
Fibrinogen (F I) adalah glikoprotein plasma terlarut yang disintesis oleh hepatosit dan megakariosit. Fibrinogen sebagai prekursor fibrin, diubah menjadi fibrin oleh thrombin dengan bantuan serine protease thrombin selama proses pembekuan. Fibrinogen dapat membentuk jembatan diantara trombosit dengan cara berikatan dengan protein membran GpIIb/ IIIa di permukaan trombosit. Indikasi pemeriksaan fibrinogen adalah bila dijumpai abnormalitas PT dan APTT, kasus perdarahan yang belum diketahui penyebabnya, monitoring progresifitas suatu penyakit (misalnya penyakit hepar) dan monitoring terapi DIC.

Fibrinogen dapat diukur dalam darah vena menggunakan sampel darah sitrate atau whole blood bila menggunakan metode viscoelastic methods seperti thrombelastometry (fungsi trombosit dihambat dengan cytochalasin D).

Peningkatan fibrinogen dijumpai pada infeksi akut atau kerusakan jaringan (perannya sebagai protein fase akut), keganasan, infark miokard, stroke, inflamasi (arthritis rheumatoid, glomerulonephritis), kehamilan, merokok sigaret, kontrasepsi oral, penggunaan preparat estrogen. Hipertensi disertai peningkatan fibrinogen meningkatkan resiko stroke. Beberapa klinisi melakukan pemeriksaan Fibrinogen disertai dengan C-reactive protein (CRP) untuk menentukan resiko penyakit kardiovaskuler dan sebagai pertimbangan dalam menangani faktor resiko lainnya seperti kolesterol dan HDL. Peningkatan fibrinogen yang berkaitan dengan infark miokard, stroke dan penyakit arteri perifer disebabkan oleh peningkatan viskositas, peningkatan koagulasi, peningkatan availabilitas untuk adhesi dan agregasi trombosit.

Penurunan fibrinogen menyebabkan penurunan kemampuan tubuh membentuk bekuan darah yang stabil. Penurunan fibrinogen kronis berkaitan dengan penurunan produksi akibat kelainan kongenital (afibrinogenemia, hipofibrinogenemia) atau kelainan didapat (stadium akhir penyakit hepar, malnutrisi). Penurunan fibrinogen akut disebabkan oleh peningkatan konsumsi fibrinogen seperti pada DIC, fibrinolisis abnormal, tranfusi darah masif dalam waktu singkat (hemodilusi), trauma. Dikatakan DIC bila dijumpai penurunan fibrinogen disertai pemanjangan PT atau APTT pada sepsis atau trauma. Obat-obatan tertentu dapat menurunkan kadar fibrinogen, antara lain steroid anabolik, androgen, phenobarbital, streptokinase, urokinase, asam valproat.

Gangguan polimerisasi fibrin dapat diinduksi oleh infus plasma expanders yang berakibat perdarahan hebat. Pada kasus dysfibrinogenemia, terdapat abnormalitas fungsi fibrinogen dengan jumlah normal, hal ini disebabkan oleh mutasi gen yang mengontrol produksi fibrinogen oleh hepar sehingga hepar memproduksi fibrinogen abnormal yang resisten terhadap degradasi saat dikonversi menjadi fibrin. Dysfibrinogenemia dapat meningkatkan resiko trombosis vena. Pasien dengan defisiensi fibrinogen atau gangguan polimerisasi fibrinogen dysfibrinogenemia dapat mengalami perdarahan sehingga diperlukan koreksi dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP), cryoprecipitate (plasma kaya fibrinogen) atau konsentrat fibrinogen.

Thrombin time
Thrombin time (TT) diperoleh dengan menambahkan reagen thrombin ke plasma sitrate, mengukur waktu sejak ditambahkannya thrombin sampai terbentuknya bekuan darah pada suhu 37 oC, digunakan untuk mengetahui jumlah dan kualitas fibrinogen dan konversi fibrinogen (soluble protein) menjadi fibrin (insoluble protein). Bila pasien dalam terapi Heparin, digunakan reptilase sebagai pengganti thrombin (efek sama dengan thrombin tetapi tidak dihambat oleh Heparin). Reptilase digunakan untuk identifikasi Heparin sebagai penyebab pemanjangan TT.

Sampel darah untuk pemeriksaan menggunakan darah sitrat (vacutainer bertutup biru), dengan pengisian darah sesuai agar tercapai ratio antikoagulant terhadap darah adalah satu bagian antikoagulan per sembilan bagian darah. Nilai normal tergantung dari kadar thrombin yang dipakai, umumnya kurang dari 22 detik, tergantung dari metode yang digunakan.

Thrombin time digunakan mendiagnosis gangguan perdarahan, mengetahui efektivitas terapi fibrinolitik. Thrombin time memanjang pada afibrinogenemia, hipofibrinogenemia (kadar fibrinogen kurang dari 100 mg/ mL), dysfibrinogenemia, sirosis hepatis, karsinoma hepatoseluler, bayi baru lahir, terdapat inhibitor thrombin (Hepari, FDP, DIC), multiple myeloma, procainamide-induced anticoagulant, amiloidosis sistemik). Bila TT memanjang, pemeriksaan diulang dnegan menggunakan campuran plasma penderita dengan plasma kontrol (perbandingan 1:1) untuk mengetahui ada tidaknya inhibitor.

Platelet aggregation test (Test agregasi trombosit)
Pemeriksaan agregasi trombosit digunakan untuk mengevaluasi kemampuan trombosit untuk membentuk agregat/ clump dan mengawali terbentuknya bekuan darah. Indikasi pemeriksaan adalah :
- Membantu diagnosis gangguan fungsi trombosit baik kongenital (Von Willebrand’s disease) maupun didapat, pada pasien dengan riwayat perdarahan
- Dugaan peningkatan agregasi trombosit (DM, hiperlipidemia)
- Monitoring terapi anti-trombosit (aspirin, ticlopidine, clpopidogrel, abciximab) paska stroke atau heart attack
- Deteksi faktor resiko trombosis arteri (PJK, stroke)
- Deteksi resistensi aspirin
- Monitoring fungsi trombosit selama operasi CABG (sirkulasi mekanik dengan mesin jantung-paru mengaktifkan sejumlah besar trombosit dan menyebabkan dysfungsional trombosit), kateterisasi jantung, transplantasi hepar.
- Skrining pasien preoperasi beresiko perdarahan selama prosedur invasif, misalnya pasien dengan riwayat perdarahan atau mengkonsumsi obat yang mempengaruhi kemampuan darah untuk membeku seperti aspirin dan NSAID.

Persiapan pemeriksaan agregasi trombosit adalah :
- Darah diambil dalam keadaan puasa 8 jam karena kadar lemak tinggi dalam darah akan mempengaruhi hasil.
- Sampel darah tidak hemolisis
- Sampel darah disimpan dalam penampung plastik/ gelas berlapis silikon bertutup pada suhu kamar
- Dikerjakan dalam waktu tiga jam setelah pengambilan darah karena respons PRP (trombosit rich plasma) akan menurun dalam tiga jam.
- Jumlah trombosit dalam PRP lebih dari 100.000/ UL

Prinsip pemeriksaan adalah perubahan transmisi cahaya (light transmittance changes), yaitu penambahan agonist (aggregating agents) ke dalam PRP akan menginduksi terjadinya agregasi trombosit sehingga transmisi cahaya melalui PRP meningkat. Agonist dapat berupa ADP (yang umumnya dipakai), epinferin, kolagen, thrombin, ristocetin). Beberapa macam obat yang dapat mempengaruhi hasil adalah : Aspirin, NSAID (Ibuprofen), antidepresi tricyclic, antihistamin, beberapa antibiotika, plasma expander Dextran, Warfarin, beta-blocker. Bila pasien mengkonsumsi obat tersebut, dianjurkan berhenti dua minggu sebelum pemeriksaan.

Gangguan fungsi trombosit kongenital terdapat pada :
- Von Willebrand’s disease : berhubungan dengan penurunan produksi atau disfungsi faktor von Willebrand
- Glanzman’s thromboasthenia : penurunan kemampuan agregasi trombosit
- Bernard-Soulier syndrome : penurunan kemampuan adhesi trombosit
- Storage pool disease : penurunan kemampuan trombosit mengeluarkan substansi untuk menginduksi agregasi

Gangguan fungsi trombosit didapat disebabkan oleh penyakit kronis seperti gagal ginjal (uremia), myeloproliferative disorders (MPDS), leukemia akut. Gangguan fungsi trombosit yang bersifat sementara dijumpai pada konsumsi obat aspirin dan NSAID, setelah operasi bypass jantung (CABG) yang berkepanjangan.

Posted via Blogaway

Posted via Blogaway


Posted via Blogaway