Rabu, 27 Agustus 2014

Pemeriksaan Bleeding time (BT) dan Activated Clotting Time (ACT)

Bleeding Time

Bleeding time (BT) menilai kemampuan darah untuk membeku setelah adanya luka atau trauma, dimana trombosit berinteraksi dengan dinding pembuluh darah untuk membentuk bekuan. Prinsip pemeriksaannya adalah mengukur lamanya waktu perdarahan setelah insisi standart pada lengan bawah atau cuping telinga. Bleeding time digunakan untuk pemeriksaan penyaring hemostasis primer atau interaksi antara trombosit dan pembuluh darah dalam membentuk sumbat hemostatik, pasien dengan perdarahan yang memanjang setelah luka, pasien dengan riwayat keluarga gangguan perdarahan.

Pemeriksaan BT dapat dilakukan dengan metoda Ivy , yaitu dilakukan insisi dengan lanset sepanjang 10 mm dan kedalaman 1 mm di lengan bawah kemudian setiap 30 detik darah dihapus dengan kertas filter sampai perdarahan berhenti, atau dengan metoda Duke dengan cara yang sama insisi di lokasi cuping telinga sedalam 3-4 mm.

BT memanjang pada gangguan fungsi trombosit atau jumlah trombosit dibawah 100.000/ mm3. Pemanjangan BT menunjukkan adanya defek hemostasis, termasuk didalamnya trombositopenia (biasanya dibawah 100.000/ mm3), gangguan fungsi trombosit heriditer, defek vaskuler kegagalan vasokonstriksi), Von Willebrand's disease, disseminated intravascular coagulation (DIC), defek fungsi trombosit (Bernard-Soulier disease dan Glanzmann’s thrombasthenia) , obat-obatan (aspirin/ ASA, inhibitor siklooksigenase, warfarin, heparin, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID), beta-blockers, alkohol, antibiotika) dan hipofibrinogenemia. Trombositopenia akibat defek produksi oleh sumsum tulang menyebabkan pemanjangan BT lebih berat dibandingkan trombositopenia akibat destruksi berlebih trombosit. Pasien dengan von Willebrand’s disease hasil BT memanjang karena faktor von Willebrand merupakan trombosit agglutination protein. BT normal tidak menyingkirkan kemungkinan terjadinya perdarahan hebat pada tindakan invasif.

Activated Clotting Time (ACT)
ACT pertama kali ditemukan oleh Hatterseley pada tahun 1966, adalah pemeriksaan waktu pembekuan untuk monitoring terapi antikoagulasi Heparin, digunakan terutama pada kateterisasi jantung dan bedah jantung terbuka CABG. Heparin adalah polisakarida, suatu inhibitor pembekuan darah yang diberikan secara intravena karena tidak efektif diabsorbsi dari traktus digestivus, digunakan sebagai pencegahan dan terapi tromboemboli. Heparin memerlukan kofaktor AT III (anti trombin III), suatu antikoagulan alami pada jalur intrinsik, untuk dapat bertindak sebagai antikoagulan. AT III bersama Heparin mengikat faktor koagulasi yang teraktivasi dan trombin sehingga menghambat terbentuknya fibrin. Sensitivitas pasien terhadap Heparin sangat bervariasi dipengaruhi oleh obat-obatan seperti nitrogliserin. Resistensi Heparin dapat disebabkan oleh penurunan kemampuan dan fungsi AT III, trombositopenia, trombositosis, umur pasien, konsentrasi hemoglobin, nitrogliserin, antikoagulan oral (memperpanjang waktu pembekuan). Hipotermia akan memperlambat pembentukan bekuan darah.

Monitoring sangat penting pada terapi Heparin ok bila dosis tidak mencukupi untuk menghambat koagulasi akan terbentuk bekuan darah di sepanjang pembuluh darah dan bila dosis heparin berlebihan akan terjadi komplikasi perdarahan yang mangancam jiwa. Heparin dosis tinggi diberikan sebelum, selama dan beberapa saat setelah operasi jantung Selama operasi berlangsung, darah difiltrasi dan dioksigenasi diluar tubuh menggunakan mesin jantung paru, dimana kontak darah dengan permukaan artifisial mesin akan memacu koagulasi membentuk bekuan darah, dengan dosis tinggi Heparin akan mencegah terbentuknya bekuan darah.

Indikasi pemeriksaan ACT adalah setelah pemberian dosis awal bolus Heparin, bedah jantung terbuka (sebelum, selama dan beberapa saat setelahnya), tindakan kateterisasi jantung, tindakan lain yang memerlukan antikoagulan dosis tinggi, pemeriksaan biasanya dilakukan secara serial. ACT mengukur efek inhibisi Heparin terhadap koagulasi bukan konsentrasi Heparin dalam darah.

Prinsip pemeriksaan ACT adalah mengukur waktu terbentuknya fibrin dengan cara interaksi sampel darah dengan activating agent Kaolin pada alat, kemudian secara elektronik diukur waktu terbentuknya serabut fibrin. Sampel darah dapat berupa whole blood atau darah sitrat.
Beberapa keadaan yang dapat mempengaruhi hasil ACT adalah :
- Tidak dilakukannya pemanasan alat hingga 37º C
- Hipotermia
- Bahan kateter jantung dan clearing heparin flush
- Hemodilusi
- Jumlah dan fungsi trombosit
Trombosit yang teraktivasi selama operasi biasanya menjadi disfungsional
- Pemberian Protamine sulfate
- Keadaan tertentu misalnya antibodi lupus dan defisiensi faktor pembekuan darah

ACT diukur dalam satuan detik. Makin tinggi hasil ACT maka makin tinggi derajat inhibisi pembekuan darah. Clotting time memanjang bila terdapat defisiensi berat faktor pembekuan pada jalur intrinsik dan jalur bersama, misalnya pada hemofilia (defisiensi F VIIc dan F Ixc), terapi antikoagulan sistemik (Heparin). Selama operasi CABG, ACT dipertahankan pada batas bawah dimana pasien diharapkan tidak dapat membentuk bekuan darah. Setelah operasi, ACT dipertahankan dalam batas 175-225 detik sampai keadaan pasien stabil.


Posted via Blogaway

0 komentar:

Posting Komentar