Kamis, 17 Juli 2014

Malaria

Malaria masih merupakan masalah kesehatan yang penting di Indonesia khususnya di luar Jawa dan Bali, tetapi akhir-akhir ini di Jawa terutama Jawa Tengah terjadi peningkatan kasus malaria. Lebih dari separo penduduk Indonesia hidup atau bertempat tinggal di daerah dengan transmisi malaria sehingga berisiko tertular malaria. Berdasarkan laporan dari Sub Direktorat Malaria Departemen Ksehatan RI, terjadi peningkatan kasus malaria dari 0,51 (1999) menjadi 0,60 per 100.000 penduduk pada tahun 2001. Meskipun telah dilakukan usaha-usaha pemberantasan malaria seperti penemuan kasus secara intensif, penyemprotan eradikasi vektor, penggunaan kelambu, insidens malaria terus meningkat. Salah satu penyebab peningkakatn kasus tersebut adalah akibat kasus malaria falciparum yang resisten terhadap chloroquine di Luar Jawa dan juga di Pulau Jawa, terbatasnya jumlah tenaga mikroskopik malaria yang berpengalaman di daerah endemik, baik di rumah sakit atau di klinik kesehatan, turut berperan dalam peningkatan kasus malaria yang tak terdiagnosis (underdiagnosis atau misdiagnosis). Di kota-kota besar yang umumnya non-endemik malaria, keterbatasan tenaga mikroskopik ini lebih parah lagi. Keterlambatan diagnosis malaria falciparum pada seorang yang non-imun perjalanan kliniknya bisa dengan cepat menjadi malaria berat dan menyebabkan kematian.

Gejala klinik ini dipengaruhi oleh jenis atau strain plasmodium, imunitas tubuh dan jumlah parasit yang menginfeksi. Malaria sebagai penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium mempunyai gejala utama demam. Diagnosis klinik merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan tetapi hanya layak diterapkan di daerah perifer atau terpencil dimana pemeriksaan laboratorium untuk mendukung diagnosis klinis malaria tidak tersedia. Seorang dokter yang sudah lama tidak berhadapan dengan kasus malaria seperti dokter yang bekerja di rumah sakit di kota-kota besar (yang umumnya daerah non-endemik malaria) seringkali lupa untuk memasukkan malaria sebagai salah satu diagnosis banding pada pasien dengan demam. Mereka juga lupa atau jarang menanyakan apakah pasien demamnya mempunyai riwayat perjalanan ke daerah malaria, pernah tinggal di daerah malaria, atau pernah mendapat transfusi darah dsb. Sebagai contoh, kita sering mendengar bahwa seorang pasien malaria dianggap menderita penyakit lain (misdiagnosis) di rumah sakit di kota-kota besar dan tidak jarang bersifat fatal. Keluhan utama pasien malaria pada saat masuk rumah sakit pada dua buah rumah sakit di Sulawesi Utara berturut-turut adalah demam, sakit kepala, menggigil, pusing, mual, nyeri epigastrium, muntah, dan diare.
Untuk malaria tanpa komplikasi (malaria falciparum ringan atau malaria vivax), penyakit demam lain yang prevalens di suatu daerah yang sama misalnya demam tifoid, demam dengue, infeksi pernafasan akut, leptospirosis ringan, infeksi hanta virus, influenza dan penyakit infeksi lain dapat merupakan diagnosis bandingnya. Malaria falciparum berat harus difikirkan sebagai diagnosis banding pada seorang dengan demam, ikterus, gagal ginjal akut, perdarahan gusi, acute respiratory distress syndrom (ARDS), gangguan kesadaran (delirium sampai koma), sindrom sepsis, leptospirosis berat, febrile convulsion pada anak-anak dan sebagainya. Adanya faktor-faktor risiko tertular malaria merupakan anamnesis yang penting dalam membantu diagnosis pada seorang pasien yang dicurigai menderita malaria berat.


Posted via Blogaway

0 komentar:

Posting Komentar